Pengumpulan
berbagai mantra menjadi himpunan buku-buku adalah merupakan usaha kodifikasi
Weda. Sloka-sloka yang ribuan banyaknya telah diturunkan ke dunia ini tidak
diturunkan sekaligus atau bersamaan ditempat yang sama, melainkan tidak
bersamaan dan dari jaman ke jaman meliputi ribuan tahun. Untuk mencegah agar
sloka-sloka itu jangan hilang dan selalu dapat diingat banyaklah usaha-usaha
dilakukan untuk menyusun atau mengumpulkan sloka-sloka itu.
Didalam menyusun kembali ribuan
sloka-sloka itu tidaklah mudah mengingat umur yang sudah tua dan kemungkinan
telah banyak hilang. Ilmu menulis baru dikenal tidak lebih dari + 800 S.M.
sehingga dapatlah dibayangkan kalau sloka yang telah turun 2000 -1500 S.M.
sampai pada saat penulisannya banyak kemungkinan telah terjadi. Disinilah
kesukaran-kesukaran yang dijumpai oleh Para Wipra atau Maha Rsi didalam
menghimpun dan mensistematisir isinya. Kodifikasi yang dilakukan terhadap
sloka-sloka Weda memiliki sistem yang khusus. Kalau kita perhatikan sistem
kodifikasi itu ada beberapa kecenderungan yang dipergunakan sebagai cara
perhimpunannya yaitu :
·
Didasarkan atas usia sloka-sloka termasuk tempat
geografis turunnya sloka-sloka itu.
·
Didasarkan atas sistem pengelompokan isi. fungsi
dan guna mantra-mantra itu.
·
Didasarkan atas resensi menurut sistim keluarga
atau kelompok geneologi.
Berdasarkan sistem pertimbangan
materi dan luas ruang lingkup isinya itu jelas kalau jumlah jenis buku Weda itu
banyak. Walaupun demikian kita harus menyadari bahwa Weda itu mencakup berbagai
aspek kehidupan yang diperlukan oleh manusia.
Maha Resi Manu membagi jenis isi
Weda itu kedalam dua kelompok besar yang disebut
1) Weda Sruti
dan
2) Weda Smrti.
Pembagian dalam
dua jenis dipakai selanjutnya untuk menamakan semua jenis buku yang
dikelompokkan sebugai kitab Weda baik secara tradisional maupun secara
institusional ilmiah. Dalam hal ini kelompok Weda Sruti merupakan kelompok buku
yang isinya hanya memuat “Wahyu” (sruti) sedangkan kelompok kedua Smrti adalah
kelompok yang sifat isinya sebagai penjelasan terhadap “Sruti”. Jadi merupakan
“manual”, buku pedoman yang isinya tidak bertentangan dengan sruti.
Kalau kita
bnadingkan dengan ilmu politik, “Sruti”, merupakan UUD-nya Hindu sedangkan
“Smrti” adalah UU. pokok dan UU. pelaksanaannya adalah Nibandha.
Kedua-duanya merupakan sumber
hukum yang mengikat yang harus diterima. Oleh karena itu Bhagawan Manu
menegaskan didalam kitabnya Manawadharmaastra II. 10.
Srutistu wedo wijneyo dharmasastram tu wai
smrtih.
te sarwarthawam imamsye tathyam dharmahi nirbabhau.
Artinya :
Sesungguhnya Sruti (Wahyu) adalah Weda
demikian pula Smrti itu adalh dharmaastra, keduanya harus tidak boleh diragukan
dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dan
hukum suci itu. (dharma).
Tentang sistem
ini akan lebih tampak kalau kita mendalami tiap-tiap materi isi Weda itu. Untuk
mempermudah sistem pembahasan materi isi Weda itu, dibawah ini akan dibicarakan
tiap-tiap bidang pembagian oleh Bhagawan Manu, Manawadharmasastra H, 6, 10,
yaitu yang membedakan jenis Weda itu kedalam bentuk :
A. Sruti
dan
B. Smrti.
Untuk dapat
memahami selurub materi yang dikodifisir didalam kedua bidang Weda itu, berikut
ini akan kami uraikan berturut-turut satu persatunya, sebagai terurai dibawah
ini.
A. ŚRUTI
Kelompok Śruti,
menurut Bhagawan Manu merupakan Weda yang sebenarnya, atau Weda originair.
Menurut sifat isinya Weda ini dibagi batas tiga bagian, yaitu :
a. Bagian
Mantra.
b. Bagian
Brahmana (Karma Kanda).
c. Bagian
Upanisad/Aranyaka (Jńăna kanda).
Ad. a. Mantra.
Bagian Mantra terdiri atas empat
himpunan (samhita) yang disebut catur Weda samhita, yaitu :
Ø Rg.
Weda atau Rg Wedasamhita.
Ø Sama
Weda atau Samawedasamhita.
Ø Yajur
Weda atau Yajurwedasamhita.
Ø Atharwa
Weda atau Atharwaweda samhita
Dari keempat kelompok Weda itu,
tiga kelompok pertama sering disebut-sebut sebagai mantra yang berdiri sendiri.
Karena itu disebut Tri Weda.
Pengenalan catur Weda hanya
karena kenyataan Weda itu secara sistematik telah dikelompokkan atas empat
Weda.
Pembagian empat kelompok ini itu
yaitu :
Ø Rg.
Weda Samhita merupakan kumpulan mantra yang memuat ajaran-ajaran umum dalam
bentuk pujaan (Rc. atau Rcas). Arc. = memuja (Arc. Rc).
Ø Samawedasamhita
merupakan kumpulan mantra yang memuat ajaran umum. mengenai lagu-lagu pujaan
(saman).
Ø Yajur
Weda samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran umum mengenai
pokok-pokok yajus, (pluralnya Yajumsi). Jenis Weda ini ada dua macam, yaitu:
Ø Yajurweda
hitam (Krşņa Yajurweda) yang terdiri atas beberapa resensi a.l. Taiyiriya
samhita dan Maitrayanisamhita.
Yajur weda putih (Śukla
yajurweda). yang juga disebut Wajasaneji samhita.
Ø Atharwa
weda samhita merupakan kumpulan mantra-mantra yang memuat ajaran yang bersifat
magis (atharwan).
Kitab Rg. Weda merupakan kumpulan
dari sloka-sloka yang tertua. Kitab ini dikumpulkan dalam berbagai resensi
seperti resensi Sakala, Baskala, Aswalayana, Sankhyayana dan Mandukeya. Dari
lima macam resensi ini yang masih terpelihara adalah resensi Sakala sedangkan
resensi-resensi lainnya banyak yang tidak sempurna lagi karena mantra-mantranya
hilang. Didalam mempelajari ajaran-ajaran Hindu dewasa ini para sarjana umumnya
berpedoman pada resensi Sakala untuk mengetahui seluruh ajaran yang terdapat
didalam Rg. Weda itu. Berdasarkan resensi itu. Rg. WEDA samhita terdiri atas
1017 hymn (mantra) atau 1028 mantra termasuk bagian mantra Walakhitanya. Atau
disebut pula terdiri atas 10580½ stanza at.au 153826 kata-kata atau 432000 suku
kata.
Rg. Weda terbagi
atas 10 Mandala yang tidak sama panjangnya. Disamping pembagian atau 10
Mandala, Rg. Weda dibagi pula atas 8 bagian yang disebut “Astaka” Mandala 2 --
8 merupakan himpunan sloka-sloka dan keluarga-keluarga Maha Rsi tunggal
sedangkan mandala 1, 9, 10 merupakan himpunan sloka-sloka dari banyak Maha Rsi.
Samaweda terdiri
atas mantra-mantra yang berasal dari Rg. Weda. Menurut penelitian Samaweda
terdiri atas 1810 Mantra atau kadang-kadang ada yang mengatakan 1875. Samaweda
terbagi atas dua bagian yaitu bagian arcika terdiri atas mantra-mantra pujaan
yang bersumber dari Rg. Weda dan bagian Uttararcika yaitu himpunan
mantra-mantra yang bersifat tambahan. Kitab ini terdiri atas beberapa buku
nyanyian pujaan (gana). Dan kitab-kitab yang ada, yang masih dapat kita jumpai
a.l. Ranayaniya, Kautuma dan Jaiminiya (Talawakara). Walaupun demikian didalam
usaha penulisan kembali kitab Samaweda itu telah diusahakan sedemikian rupa
supaya tidak banyak yang hilang.
Yajurweda
terdirii atas mantra-mantra yang sebagian besar berasal dari Rg. Weda, ditambah
dengan beberapa mantra yang merupakan tambahan baru. Tambahan ini umumnya
berbentuk prosa. Menurut Bhagawan Pataňjali, kitab ini terdiri atas 101 resensi
yang sebagian besar sudah lenyap. Kita ini terbagi atas dua aliran, yaitu:
·
Yajurweda hitam (Krsna Yajurweda). Kitab ini
terdiri atas 4 resensi yaitu:
·
Katakhassamhita.
·
Mapisthalakathasamhita.
·
Taithiriyasamhita (Terdiri atas dua aliran yaitu
Apastamba dan Hiranyakesin).
Ø Yajur
Weda putih (śukla yajurweda, juga dikenal Wajasaneyi samhita). Kitab ini
terdiri atas 2 resensi yaitu :
·
Kanwa dan
·
Madhyandina.
Antara kedua
resensi itu hanya terdapat sedikit perbedaan Yajurweda putih ini terdiri atas
1975 mantra yang isinya umumnya menguraikan berbagai jenis yajna besar seperti
Wejapeya, Aswamedha, Sarwamedha dan berbagai jenis yajna lainnya. Bagian
terakhir dari Weda ini memuat sloka-sloka yang kemudian dijadikan Isopanisad.
Perbedaan pokok
antara Yajurweda Putih dengan Yajurweda hitam hanya sedikit saja Yajurweda
putih terdiri atas mantra-mantra dan doa-doa yang harus diucapkan pendeta
didalam upacara sedangkan mantra-mantra didalam Yajurweda hitam terdapat pula
mantra-mantra yang menguraikan arti Yajna. Bagian terakhir ini merupakan bagian
tertua dari Yajurweda itu. Di dalam Weda ini kita jumpai pula pokok-pokok
upacara Darsapurnamasa yaitu upacara yang harus dilakukan pada saat-saat bulan
purnama dan bulan gelap, disamping berbagai jenis upacara-upacara besar yang
penting artinya dilakukan setiap harinya.
Atharwaweda yang
disebut Atharwangira, merupakan kumpulan mantra-mantra yang juga banyak berasal
dari Rg. Weda. Kitab ini memiliki 5987 mantra (puisi dan prosa). Kitab ini
terpelihara dalam dua resensi, yaitu:
·
Resensi Saunaka. Resensi ini paling terkenal dan
terdiri atas 21 buku.
·
Resensi Paippalada.
Ad. b. Brahmana (Karma Kanda)
Bagian kedua
yang terpenting dan kitab Sruti ini adalah bagian yang disebut Brahmana atau
Karma Kanda. Himpunan buku-buku ini disebut Brahmana. Tiap-tiap mantra (Rg.
Sama, Yajur, Atharwa) memiliki Brahmana. Brahmana berarti doa. Jadi kitab
Brahmana adalah kitab yang berisi himpunan doa-doa yang dipergunakan upacara
yajna. Kadang-kadang Brahmana diartikan penjelasan yang menjelaskan arti kata
ucapan mantra.
Kitab Rg. Weda
memiliki dua jenis buku Brahmana, yaitu Aitareya Brahmana dan Kausitaki
Brahmana (Sankhyana Brahmana). Kitab Brahmana yang pertama terdiri atas 40 Bab
dan yang kedua terdiri atas 30 Bab.
Kitab Samaweda
memiliki kitab Tandya Brahmana yang juga sering dikenal dengan nama Pancawimsa.
Kitab ini memuat legenda (ceritra-ceritra kuno) yang dikaitkan dengan upacara
yajna. Disamping itu ada pula Sadwimsa Brahmana. Kitab ini terbagi atas 25 buku
dimana bagian terakhir yang terkenal adalah kitab Adbhuta Brahmana, merupakan
jenis Wedangga yang memuat mengenai ramalan-ramalan dan penjelasan mengenai berbagai
mukjizat.
Yajurweda
memiliki beberapa kitab Brahmana pula. Yajurweda hitam (Krsna Yajurweda)
memiliki Taittiriya Brahmana. Kitab ini merupakan lanjutan Taittiriya samhita
Kitab ini yang menguraikan simbolisasi ,,Purusamedha” yang telah diartikan secara
salah didalam tradisi Yajurweda putih (Sukla Yajurweda) memiliki Saptatha
Brahmana. Nama ini disebut demikian karena kitab ini terdiri atas 100 adhyaya.
Bagian terakhir dari kitab ini merupakan sumber bagi kitab Brhadaranyaka
upanisad. Didalam kitab Brabmana ini mula-mula kita jumpai ceritera Sakuntala,
Pururawa, Urwasi dan ceritera-ceritera tentang ikan. Atharwa weda ini memiliki
kitab Gopathabrabmana.
Ad. c. Upanisad dan Arapyaka (Jńăna kanda).
Aranyaka atau
Upanisad adalah himpunan mantra-mantra yang membabas berbagai aspek teori
mengenai ke-Tuhan-an. Himpunan ini merupakan bagian Jńăna Kanda dari pada Weda
Śruti. Sebagaimana halnya dengan tiap-tiap Mantra memiliki kitab Brahmana,
demikian pula tiap-tiap mantra ini memiliki kitab-kitab Aranyaka atau Upanisad.
Kelompok kitab-kitab ini disebut Rahasiya Jñăna karena isinya membahas hal-hal
yang bersifat rahasia.
Didalam
penelitian mengenai berbagai naskah kitab suci Hindu Dr. G. Sriniwasa Murti
didalam introduksi kitab Saiwa Upanisad mengemukakan bahwa tiap-tiap Sakha
(cabang ilmu) Weda merupakan satu upanisad. Dari catatan yang ada:
·
Rg.Weda terdiri atas 2l sakha.
·
Sama Weda terdiri atas 1000 sakha.
·
Yajur Weda terdiri atas 109 Sakha, dan
·
AtharwaWedaterdlijatas5osakha.
Berdasarkan jumlah sakha yaitu
1180 sakha maka jumlah Upanisad sayogyanya ada sebanyak 1180 buah buku tetapi
berdasarkan catatan Muktikopanisad jumlah upanisad yang disebut secara tegas
adalah sebanyak 108 buah buku. Adapun perincian daripada kitab-kitab upanisad
itu adalah sebagai berikut:
·
Upanisad yang tergolong jenis Rg. Weda, yaitu
antara lain:
Aitareya,
Kausitaki, Nada-bindu, Atmaprabodha, Nirwana, Mudgala, Aksamalika, Tripura, Saubhagya dan Bahwrca Upanisad,
yang semuanya berjumlah sepuluh Upanisad.
·
Upanisad yang tergolong jenis Sama Weda adalah :
Kena, Chandogya,
Aruni, Maitrayani, Maitreyi, Wajrasucika, Yogacudamani, Wasudewa, Mahat,
Sanyasa, Awyakta, Kondika, Sawirei, Rudraksajabala, Darsana dan Jabali.
Semuanya berjumlah enam belas Upanisad.
·
Upanisad yang tergolong jenis Yajurweda, adalah
:
o
Untuk jenis Yajur Weda Hitam, terdirj atas
Kathawali, Taittiriyaka, Brahma, Kaiwalya, Swetaswatara, Garbha, Narayana,
Amrtabindu, Asartanada, Katagnirudra, Kausika, Sarwasara, Sukharahasya,
Tejobindu, Dhyanabindu, Brahmawidya, Yogatattwa, Daksinamurti, Skanda Sariraka,
Yogasikha, Ekaksara, Aksi, Awadhuta, Katha, Rudrahrdaya, Yogakundalini,
Pancabrahma, Pranagnihotra, Waraha, Kalisandarana dan Saraswatirahasya.
sernuanya berjumlah tiga puluh dua Upanisad.
o
Untuk Jenis Yajur Putih, terdiri atas: Isawasya,
Brhadaranyaka, Jabala, Hamsa, Paramahamsa, Subata, Mantrika, Niralambha.
Trisikhibrahmana, Mandalabrahmana, Adwanyataraka, Pingala Bhiksu, Turiyatita,
Adhyatma, Tarasara, Yajnawalkya, Satyayani dan Muktika, semuanya berjumlah
sembilan belas Upanisad.
·
Upanisad yang tergolong jenis Atharwaweda,
yaitu, antara lain: Prasna, Munduka, Mandukya, Athawasira, Atharwasikha,
Brhajjabala, Nrsimhatapini, Naradapariwrajaka, Sita, Sarabha, Mahanarayana,
Ramarahasya, Ramatapini, Sandilya,
Paramahamsa
pariwrajaka, Annapurna, Surya, Atma, Pasupata, Parabrahmana, Tripuratapini,
Dewi, Bhawana, Brahma, Gamapati, Mahawakya, Gopalatapini, Krsna, Hayagriwa,
Dattatreya dan Garuda Upanisad, semuanya berjumlah tiga puluh satu Upanisad.
Dengan memperhatikan deretan
nama-nama kelompok Mantra, Brahmana dan Upanisad diatas, jelas bahwa kitab
Sruti meliputi jumlah yang cukup banyak. Untuk mendalami Dharma, semua
buku-buku itu adalah merupakan sumber utama dan kedudukannya mutlak perlu
dihayati.
B. SMRTI
Smrti adalah Weda juga, karena
kedudukannya dipersamakan dengan Weda (Sruti).
Manawa Dharmasastra. II. 10.
Srutistu wedo wijňeyo dharmaśastram tu wai
smrtih te sarwãrtheswamimămsye tăbhyăm dharmohi nirbabhau.
Artinya :
Sesungguhnya Sruti adalah Weda dan Smrti
adalah dharmasastra; keduanya tidak boleh diragukan karena keduanya adalah
sumber dari hukum suci.
Dan ketentuan itu jelas bahwa
Dharmasastra berusaha menunjukkan tingkat kedudukan Smrti sama dengan Sruti.
Dalam peterjemahan istilah Smrti itu kadang-kadang mengandung banyak arti
seperti :
Sejenis kelompok buku Weda yang
lahir dan ingatan.
·
Nama untuk menyebutkan tradisi yang bersumber
pada kebiasaan yang disebut didalam Weda (Mds. II. 12.).
·
Nama jenis kitab Dharmasastra. Istilah ini lebih
sempit artinya jika dibanding dengan istilah Smrti menurut arti kelompok a.
Menurut tradisi dan lazim telah
diterima dibidang ilmiah istilah Smrti adalah untuk menyebutkan jenis kelompok
Weda yang disusun kembali berdasarkan ingatan. Penyusunan ini didasarkan atas
pengelompokan isi materi secara lebih sistematis manurut bidang profesi. Secara
garis besarnya, Smrti depat digolongkan kedalam dua kelompok Wedasmrti, yaitu:
·
Kelompok Wedangga (Batang Tubuh Weda)
·
Kelompok Upaweda (Weda tambahan).
Kelompok Wedangga.
v Adapun
kelompok Wedangga ini terdiri atas enam bidang Weda, yaitu :
v Siksa
(Phonetika)
v Wyakarana
(Tata Bahasa)
v Chanda
(lagu)
v Nirukta
(Sinonim dan Antonim)
v Jyotisa
(Astronomi)
v Kalpa
(Ritual).
Ad. a. Sika (Phonetik)
Untuk dapat
memahami Weda dengan tepat cabang ilmu Weda yang disebut Siksa penting artinya.
Kodifikasi Weda yang diuraikan berdasarkan ilmu phonetika erat sekali
hubungannya dengan ilmu Weda Sruti. Isinya memuat petunjuk-petunjuk tentang
cara yang tepat dalam pengucapan mantra serta tinggi rendah tekanan suara.
Buku-buku siksa ini disebut Pratisakhya yang dihubungkan dengan berbagai
resensi Weda Sruti. Diantara buku-buku Pratiskhya yang ada, antara lain:
·
Rg. Wedapratisakhya, himpunan Bhagawan Saunaka
berasal dari resensi Sakala.
·
Taittiriyapratisakhyasutra berasal dari resensi
Taitiriya dari Krsna Yajur Weda.
·
Wajasaneyipratisakhyasutra himpunan Bhagawan
Katyayana berasal dari resensi Madhyandina (Sukla Yajurweda).
·
Samapratisakhya untuk Sama Weda
·
Atharwawedapratisakhyasutra (caturadhyayika)
untuk kitab Atharwa Weda.
Penulis-penulis lainnya yang juga
membahas Pratisakhya itu antara lain Maha Rsi Bharadwaja, Maha Rsi Wyasa
(Abyasa), Maha Rsi Wasistha dan Yajnawalkya.
Ad. b. Wyakarana (Tata Bahasa).
Wyakarana
sebagai suplemen batang tubuh Weda dianggap sangat penting dan menentukan
karena untuk mengerti dan menghayati Weda Sruti tidak mungkin tanpa bantuan
pengertian dan bahasa yang benar. Asal mula teori pengajaran Wyakarana,
bersumber pada kitab Pratisakhya.
Diantara pemuka-pemuka agama yang
mengkodifikasi tata bahasa itu antara lain
Sakatayana, Panini, Patanjali dan
Yaska. Dari nama-nama itu yang terkenal adalah Bhagawan Panini yang menulis
Astadhyayi dan Patanjali Bhasa. Dari Bhagawan Patanjali kita mengenal kata
bhasa untuk menyebutkan bahasa sanskerta populer dan Daiwiwak (Bahasa para
Dewa-Dewa) untuk bahasa sanskerta yang terdapat didalam kitab Weda, mula-mula
disebut oleh Panini.
Ad. c. Chanda (lagu).
Chanda adalah
cabang Weda yang khusus membahas aspek ikatan bahasa yang disebut lagu. Peranan
Chanda di dalam sejarah penulisan Weda karena dengan chanda itu semua
sloka-sloka itu dapat dipelihara turun-temurun seperti nyanyian yang mudah
diingat. Di antara berbagai jenis kitab Chanda yang masih terdapat dewasa ini
adalah dua buah buku, yaitu :
Nidanasutra dan Chandasutra. Kitab terakhir ini dihimpun oleh Bhagawan
Pinggala.
Ad. d. Nirukta.
Kelompok jenis kitab Nirukta
isinya terutarna memuat berbagai penafsiran otentik mengenai kata-kata yang
terdapat didalam Weda. Kitab tertua dan jenis ini dihimpun oleh Bhagawan Yaska
bernama Nirukta, ditulis pada tahun + 800 S.M. Kitab ini membahas tiga masalah
yaitu :
·
Naighantukakanda, memuat kata-kata yang sama
artinya.
·
Naighamakanda (Aikapadika), memuat kata-kata
yang berarti ganda.
·
Daiwatakanda (menghimpun nama Dewa-Dewa r yang
ada diangkasa, bumi dan surga.
Ad. e. Jyotisa (astronomi).
Kelompok Jyotisa
merupakan pelengkap Weda yang isinya memiuat pokok-pokok ajaran astronomi yang
diperlukan untuk pedoman dalam melakukan Yajńa. Isinya yang penting membahas
peredaran tata surya, bulan dan badan angkasa lainnya yang dianggap mempunyai
pengaruh didalam pelaksanaan yadnya.
Satu-satunya buku Jyotisa yang rnasih
kita jumpai adalah Jyotisawedăngga yang penulisnya sendiri tidak dikenal. Kitab
ini dihubungkan dengan Yajurweda dan Rg. Weda.
Ad. f . Kalpa.
Kelompok kalpa ini merupakan
kelompok Wedangga yang terbesar dan yang terpenting. Isinya banyak bersumber pada
kitab Brahmana dan sedikit pada kitab-kitab Mantra. Menurut jenis isinya
kelompok ini terbagi atas beberapa bidang, yaitu:
·
Bidang Śrauta.
·
Bidang Grhya.
·
Bidang Dharma, dan
·
Bidang Sulwa.
Sautra atau
Śrautrasütra memuat berbagai ajaran mengenai tatacara melakukan yajna,
penebusan dosa dan lain-lain, yang berhubungan dengan upacara keagamaan baik
upacara besar, upacara kecil dan upacara harian.
Demikian pula
kitab Gŗhya atau Gŗhyasútra memuat berbagai ajaran mengenai peraturan
pelaksanaan yadnya yang harus dilakukan oleh orang-orang yang telah berumah
tangga.
Disamping itu
terdapat pula jenis kitab-kitab Kalpa yang tergolong dalam bidang Srauta dan
Gŗhya yaitu kitab Srăddakalpa dan Pitrimedhaśütra. Kitab ini memuat pokok-pokok
ajaran mengenai tata-cara upacara yang berhubungan dengan arwah orang-orang
yang telah meninggal.
Ada pula kitab Prayascittasutra
yang merupakan supllemen dari kitab Atharwa Weda.
Dari semua jenis
Kalpa yang terpenting adalah bagian “Dharmasutra”, yang membahas berbagai aspek
mengenai peraturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Demikian pentingnya kitab
ini sehingga menimbulkan kesan hahwa yang dimaksud Weda Smrti adalah
Dharmasastra. Para penulis Dharmasastra yang terkenal adalah :
·
Bhagawan Manu.
·
Bhagawan Apastamba.
·
Bhagawan Bhaudhayana.
·
Bhagawan Harita.
·
Bhagawan Wisnu.
·
Bhagawan Wasistha.
·
Bhagawan Waikanasa.
·
Bhagawan Sankha Likhita.
·
Bhagawan Yajnawalkya. Dan
·
Bhagawan Parasara.
Diantara
nama-nama itu yang terkenal adalah Bhagawan Manu (Maha Rsi Manu autor
Manawadharmasastra) yang karyanya ditulis oleh Bhagawan Bhrgu. Menurut tradisi,
tiap yuga mempunyai ciri-ciri khas dan mempunyai dharmasastra tersendiri,
antara lain :
·
Manu menulis Manawadharmasastra untuk Satyayuga.
·
Yajnawalkya menulis Dharmasastra untuk
Tritayuga.
·
Sankha Likhita menulis Dharmasastra untuk
Dwaparayuga, dan
·
Parasara menulis Dharmasastra untuk Kaliyuga.
Walaupun
pembagian itu telah ada namun secara materiil isinya overlapping antara yang
satu dengan yang lain karena itu sifatnya saling mengisi. Bagian terakhir dari
jenis Kalpa adalah kelompok kitab Sulwasutra. Kitab ini memuat
peraturan-peraturan mengenai tata cara membuat tempat peribadatan (Pura,
Candi), bangunan-bangunan lain, dan lain-lain yang berhubungan dengan ilmu
arsitektur.
Kelompok jenis ini memiliki
beberapa buku antara lain Silpasastra, Kautama, Mayamata, Wastuwidya, Manasara,
Wisnudharmatarapurana dan sebagainya.
Kelompok Upadewa
Kelompok Upadewa
adalah kelompok kedua yang sama pentingnya dengan Wedangga. Kelompok ini
kodifikasinya terdiri atas beberapa cabang ilmu, yaitu:
·
Jenis Itihasa.
·
Jenis Purana.
·
Jenis Arthasastra.
·
Jenis Ayurweda. Dan
·
Jenis Gandharwaweda.
·
Ad. 1. Jenis Itihasa.
Jenis Itihasa merupakan jenis
epos yang terdiri atas dua macam yaitu:
·
Rämayana terdiri atas tujuh kanda.
·
Mahabharata, terdiri atas 18 buah Buku (Parwa)
dan dua buku supplemen Mahabharata yaitu kitab Hariwamsa dan Bhagawadgita.
Ramayana ditulis
oleh Bhagawan Walmiki. Menurut tradisi, kejadian yang dilukiskan didalam
Ramayana menggambarkan kehidupan pada jaman Tretayuga tetapi menurut kritikus
Barat berpendapat bahwa Ramayana sudah selesai ditulis sebelum th. 500 S.M.
Diduga ceriteranya telah populer 3100 S.M.
Ramayana
merupakan epos Aryanisasi yang ditulis dalam bentuk stanza, meliputi 24.000
buah stanza. Penulisnya sendiri menamakannya puisi, ăkhyăyana, gita dan
samhita. Seluruh isi dikelompokkan kedalam tujuh kanda, yaitu, Bala kanda,
Ayodhyakanda, Aranyakahda, Kiskindhakanda, Sundarakanda, Yuddhakanda dan
Uttarakanda. Tiap-tiap kanda itu merupakan satu kejadian yang menggamharkan
ceritera yang menarik. Kitab ini dikenal sebagai Adikawya sedangkan Walmiki
dikenal sebagai Adikawi.
Banyak gubahan ditulis dalam
berbagai bentuk versi baru seperti Ramayanatatwapadika ditulis oleh
Maheswaratirtha, Amrtakataka oleh Śri Răma, Kakawin Ramayana oleh Mpu
Yogiswara, dan sehagainya.
Tentang
kedudukan Itihsa diantara Weda itu disebutkan secara sepintas lalu saja didalam
Weda Sruti dimana didalam Weda Sruti kita jumpai istilah-istilah akhyayana.
Purãna dan Itihasa. Akhyayana merupakan himpunan ceritera-ceritera tradisi kuna
dan kadang-kadang Akhyayana itu dimasukkan pula kedalam Itihasa. Itihasa
berasal dari tiga kata yaitu Iti — ha — asa yang artinya : ”Sesungguhnya kejadian
itu begitulah nyatanya”. Jadi Itihasa memuat unsur sejarah yang memuat
macam-macam isi. Menurut kritikus Barat, Ramayana dibandingkan sebagai kitab
Illiad karya Homer.
Berbeda halnya
dengan Ramayana, Mahabharata, lebih muda umurnya dan menurut Prof. Pargiter
kejadian Bhäratayuddha diperkirakan pada + 950 S.M. Tetapi tradisi meletakkan
kejadian itu pada permulaan zaman kaliyuga, 3101 S.M. Kitab Mahabharata
menceriterakan kehidupan keluarga Bharata dan isinya menggambarkan pecahnya
perang saudara antara bangsa Arya sendiri. Kitab ini meliputi 18 buah buku
(Parwa) yaitu Adiparwa, Sabhaparwa, Wanaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa,
Bhismaparwa, Dronaparwa, Karnaparwa, Salyaparwa Sauptikaparwa, Santiparwa,
Anusasana parwa, Aswamedhikaparwa, Asramawasikaparwa, Mausalaparwa,
Mahaprasthanikaparwa dan Swargarohana parwa. Parwa ke 12 yang merupakan parwa
terpanjang yaitu meliputi 14000 stanza. Seluruh parwa meliputi 8 x besarnya
Illiad dan Odyessy.
Menurut tradisi
Mahabharata ditulis oleh Bhagawan Wyasa (Abyasa). Disamping kedelapan belas
Parwa itu terdapat pula dua buku suplemen yaitu Hariwamsa dan Bhagawadgita.
Bhagawan Wyasa dikenal pula dengan nama Krsnadwipayana, putra Maha Rsi
Parasara. Maha Rsi Abyasa (Wyasa) terkenal bukan saja karena karya
Mahabharata-nya tetapi juga karena karyanya dalam usaha menyusun sistematika
Weda yang disumbangkan dalam menyusun kodifikasi catur Weda itu.
Mahabharata
banyak menggambarkan kehidupan keagamaan, sosial dan politik menurut ajaran
Hindu, yang mirip dengan Dharmasastra dan Wisnusmrti. Hariwamsa membahas
mengenai asal mula keluarga Bhatara Krsna seperti pula yang dapat kita jumpai
didalam Wisnupurana dan Bhawisyaparwa.
Ad. 2.Jenis Purna.
Jenis ini
merupakan kumpulan ceritera-ceritera kuno yang isinya memuat ,,case law” dan tradisi
tempat setempat. Adapun jenis-jenis kitab Purana itu ialah Bhrahmanda,
Bhrahmawaiwarta, Markandya, Bhawisya, Wamana, Brahma, Wisnu, Narada, Bhagawata,
Garuda, Padma, Waraha, Matsya, Kurma Lingga, Siwa, Skanda, dan Agni.
Kadang-kadang
ada pula yang menambahkan dengan nama Wayupurana, tetapi nyatanya kitab ini
kadang-kadang dikelompokkan kedalam kitab Bhagawata purana. Berdasarkan
sifatnya kedelapan belas purana itu dibagi atas tiga kelompok, yaitu:
·
Stwikapurana terdiri dan Wisnu, Nrada, Bhgawata,
Garuda, Padma dan Waraha.
·
Rajasikapurana terdiri dari Brahmanda,
Brahmawaiwarta, Markandeya Bhawisya, Wamana dan Brahma.
·
Tamasikapurãna terdiri dari Matsyapurana,
Kúrmapurana, Linggapurana, Siwapurana, Skandapurana dan Agnipuräna.
Kitab-kitab
Purana sangat penting karena memuat ceritera-ceritera yang menggambarkan
pembuktian-pembuktian hukum yang pernah dijalankan. Kitab ini merupakan
kumpulan-kumpulan jurisprudensi. Pada umumnya, suatu Purana yang lengkap dan
baik memuat lima macam pokok isi. Menurut Wisnupurana III. 6. 24, meliputi
hal-hal sebagai berikut:
·
Ceritera tentang pencipta dunia (cosmogony).
·
Ceritera tentang bagaimana tanda dan terjadinya
pralaya (qiamat/akhir jaman).
·
Ceritera yang menjelaskan silsilah dewa-dewa dan
bhatara.
·
Ceritera mengenai jaman Manu atau Manwantara dan
·
Ceritera mengenai silsilah keturunan dan
perkembangan dinasti Suryawangsa dan Candrawangsa.
Difinisi di
atas tidaklah selalu sama, karena pada umumnya kitab-kitab Purana lainnya tidak
sebanyak itu masalah isinya. Isi kitab-kitab Purana lainnya memuat pokok-pokok
pemikiran yang menguraikan tentang ceritera kejadian alam semesta, doa-doa dan
mantra untuk sembahyang, cara melakukan puasa, tatacara upacara keagamaan dan
petunjuk-petunjuk mengenai cara bertirtayatra atau berziarah ketempat-tempat
suci. Adapun peranan terpenting dari Purana ialah: karena kitab-kitab memuat
pokok-pokok ajaran mengenai Theisme (Ke- Tuhanan) yang dianut menurut berbagai
madzab Hindu.
Kitab-kitab
Purana ini banyak yang telah digubah ke dalam bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi
yang dipelihara diberbagai Puri. Umumnya masih dalam rontal/lontar. Sejarah
penulisan Purana dimulai pada tahun 500 S.M. dan mencapai kesempurnaan pada ÷
tahun 600 M. ketika Maha Raja Harsa Wardana memerintah wilayah Aryawarta.
Sebagai diketahui bahwa jaman pemerintahan Harsawardana adalah merupakan zaman
keemasan Hindu sehingga para pemuka-pemuka agama benar-benar memanfaatkan
waktunya untuk pengabdian sepenuhnya bagi kepentingan agama.
Ad. 3. Arthasastra.
Jenis arthasastra
adalah jenis ilmu pemerintahan Negara. Isinya merupakan pokok-pokok pemikiran
ilmu politik. Ada beberapa buku yang dikodifikasikan menurut bidang ini antara
lain, kitab Usana. Nitisara, Sukraniti dan Arthasastra. Jenis terakhir inilah
yang paling lengkap.
Pokok-pokok
ajaran Arthasastra terdapat pula didalam Ramayana dan Mahabharata. Sebagai
cabang ilmu, jenis iimu ini disebut Nitisastra atau Rajadharma atau Dandaniti.
Bhagawan Brhaspati mempergunakan istilah Arthasastra, yang kemudian, Kautilya
(Canakya) didalam menulis kitabnya mempergunakan istilah Arthasastra. Ada
beberapa Acarya terkenal dibidang Nitisastra mewakili empat pandangan teori
ilmu politik, yaitu Bhagawan Brhaspati, Bhagawan Usana, Bhagawan Parasara dan
Rsi Canakya sendiri. Penulis-penulis lainnya seperti Wisalaksa, Bharadwaja,
Dandin dan Wisnugupta banyak pula sumbangan mereka.
Jenis-jenis
Arthasastra yang banyak digubah di Indonesia adalah jenis Usana dan Nitisara
disamping catatan-catatan kecil yang
merupakan ajaran nibandha didalam bidang nitisastra.
Umumnya naskah-naskah itu tidak
lengkap lagi sehingga bila ingin mengadakan rekonstruksi diperlukan data-data
dan bahan-bahan lain untuk penulisannya kembali.
Ad. 4. Ãyurweda
Jenis kitab yang
dikodifikasikan dibawah titel isi adalah kitab-kitab yang menurut materi isinya
menyangkut bidang ilmu kedokteran. Ada banyak buku terkenal antara lain
Ayurweda, Carakasamhita, Susrutasamhita Kasyapasamhita Astanggahrdaya, Yogasara
dan Kamasutra.
Pada umumnya
kitab Ayurweda erat sekali hubungannya dengan kitab-kitab Dharmasastra dan
Purana. Ajaran umum yang menjadi hakekat isi seluruh kitab ini adalah
menyangkut bidang kesehatan jasmani dan rokhani dengan berbagai sistim
sifatnya. Jadi Ayurweda adalah filsafat kehidupan baik etis maupun medis. Oleh
karena itu luas lingkup bidang isi ajaran yang dikodifikasikan didalam bidang
Ayurweda ini meliputi bidang yang sangat luas dan yang merupakan hal-hal yang
hidup.
Menurut materinya, Ayur Weda meliputi
delapan bidang ajaran umum, yaitu:
·
Salya yaitu ajaran mengenai ilmu bedah.
·
Salkya yaitu ajaran mengenai ilmu penyakit.
·
Kayakitsa yaitu ajaran mengenai ilmu
obat-obatan.
·
Bhutawidya yaitu ajaran mengenai ilmu
psikotherapy.
·
Kaumarabhrtya yaitu ajaran mengenai pendidikan
anak-anak dan merupakan dasar bagi ilmu jiwa anak-anak.
·
Agadatantra yaitu ilmu toxikoloki.
·
Rasayamatantra yaitu ilmu mukjizat,
·
Wajikaranatantra yaitu ilmu jiwa remaja.
Diantara jenis-jenis buku
Ayurweda yang banyak disebut namanya disamping Ayurweda yang ditulis oleh Maha
Rsi Punarwasu, terdapat pula kitab Carakasamhita. Kitab inipun memuat delapan
bidang ajaran, yaitu:
·
Sutrathana yaitu ilmu pengobatan.
·
Nidanasthana yaitu ajaran umum mengenai berbagai
jenis penyakit yang umum.
·
Wimanasthana yaitu ilmu pathology.
·
Sarithana yaitu ilmu anatomi dan emberiology.
·
Indriyasthana yaitu mengenai bidang diagnosir
dan pragnosis.
·
Cikitsasthana yaitu ajaran khusus mengenai
pokok-pokok ilmu therapy.
·
Kalpasthana.
·
Siddhisthana.
Kedua bidang
terakhir merupakan ajaran umum mengenai pokok-pokok ajaran umum dibidang
therapy. Kitab terakhir ini telah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dan Persia
pada tahun 800 M. Kitab Susrutasamhita terutama menekankan ajaran umum dibidang
ilmu bedah dengan mengemukakan berbagai alat yang dapat dipergunakan didalam
melakukan perbedahan. Buku ini ditulis oleh Susanta. Nama beliau terkenal
sampai ke dunia Barat pada abad ke IX.
Kitab Yogasara
dan Yogasastra ditulis oleh Bhagawan Nagarjuna. Isinya memuat pokok-pokok ilmu
yoga yang dirangkaikan dengan sistem anatomi yang penting artinya didalam
pembinaan kesehatan jasmani dan rokhani. Merupakan cabang ilmu Ayurweda juga
disebut kitab Kamasastra. Kitab ini tegolong dalam bidang ilmu
Wajikaranatantra. Kitab Kamasastra yang terpenting adalah karya Bhagawan
Watsyayana. Menurut penelitian kitab ini ditulis sebelum abad II Masehi.
Ad. 5. Gandharwaweda.
Jenis kitab yang
dikodifikasi dibawah titel ini adalah kitab yang membahas berbagai aspek cabang
ilmu seni. Ada beberapa buku penting antara lain Natyasastra meliputi
Natyawedagama dan Dewadasasahasri, disamping buku-buku lain seperti Rasarnawa,
Rasaratnasamuccaya dan lain-lain. Jenis kitab ini belum banyak digubah di
Indonesia.
Dari uraian
diatas maka jelas bahwa kelompok Weda smrti meliputi banyak buku dengan
berbagai sub titelnya yang kodifikasinya mengkhusus menurut jenis bidang ilmu
tertentu. Dengan uraian ini kiranya telah dapat diperkirakan betapa luas Weda
itu, mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Didalam menggunakan ilmu Weda itu
yang perlu adalah disiplin ilmu karena tiap ilmu akan menunjuk pada satu aspek
dengan sumber-sumber yang pasti pula. Inilah yang perlu diperhatikan dan
dihayati untuk dapat mengenal isi Weda secara sempurna.
II.
NIBANDHA
Kelompok
buku-buku yang tidak merupakan kelompok Weda tetapi isinya memberi pandangan
tersendiri baik yang sependapat ataupun yang bertentangan dengan argumentasi
atau alasan-alasan yang meyakinkan tetang kebenaran ajaran yang diketengahkan
adalah merupakan kitab-kitab yang dapat digolongkan sebagai kelompokNibandha.
Sifatnya dapat berbentuk komentar, kritik atau ulasan-ulasan yang berdiri
sendiri atau yang dikaitkan dengan salah satu pasal atau buku yang tergolong
kelompok Weda. Ini penting karena apapun yang akan diketengahkan
setidak-tidaknya ada kaitannya dengan Weda.
Secara
tradisional sifat pengkaitan itu dibedakan antara bentuk sifat yang ortodok dan
dengan yang bersifat hetherodok. Yang ortodok mengkaitkan langsung dengan
sumber induknya, yaitu Weda, sedangkan yang hetherodok, tidak bersumber pada
Weda melainkan berdiri sendiri dan Weda dianggap sebagai produk tidak otoriter
bagi mereka. Golongan terakhir ini terdiri dari golongan Buddhis, Jaina dan
Lokayatika yang ajarannya tersimpul dalam banyak buku. Walaupun demikian dari
segi Hinduisme golongan Hetherodox ini adalah golongan Hindu pula.
Jenis
kitab-kitab Nibandha itu banyak dan merupakan hasil karya ilmiah dari
tokoh-tokoh pemuka agama Hindu. Karya mereka langsung membahas berbagai aspek
terhadap berbagai persoalan menurut bidang ilmu yang terdapat dan tersebar
didalam Weda. Kitab ”gubahan” yang terdapat banyak sesudah Weda Sruti dan
Srnrti itu adalah merupakan karya Nihandha. Dalam hal ini misal Sarasamuccaya
adalah tergolong jenis Nibandha dalam rangkaiannya dengan Itihasa. Demikian
pula kitab-kitab rontal/lontar yang memuat berbagai ajaran yang merupakan
gubahan baik langsung maupun tak langsung, semuanya adalah merupakan
kitab-kitab Nibandha.
Kitab-kitab
filsafat seperti Purwamimamsa adalah digubah berdasarkan bagian-bagian tertentu
dari kitab Brahmana dan demikian pula kitab-kitab Bhasya karya Sahara,
Brhattika karya Kumarih, Sarasamuccaya karya Kathyayana (Wararuci) dan
sebagainya.
Jadi sangat
hanyak kitab yang penting yang perlu dikenal dibidang Nihandha itu. Kitab agama
yang juga dikenal sebagai kitab Tantra, Brahmasutra, Wedantasutra, Wahya,
Brahmamimamsa, Uttaramimamsa, dan berbagai nama-nama buku sebagaimana disebut
didalam buku Wedaparikrama dan halaman 15 - 21, semuanya adalah tergolong jenis
Nibandha.
Semua jenis
Nibandha itu merupakan sumber ke II yang menurut ajaran pokok-pokok ajaran
Hindu yang penting pula artinya. Untuk itu bila hendak menghayati ajaran Weda
sebagaimana dikehendaki menurut ketentuan-ketentuan umum itu maka jelas peranan
Nibandha menentukan arah perkembangan ajaran agama. ini tidak bertentangan
dengan ajaran umum didalam Weda karena untuk menghayati Weda dianjurkan agar
kita harus membaca semua atau kita harus mampu memahami dan berpandangan luas.
Dengan demikian peranan ajaran Atmanastusti mempengaruhi perkembangan Nibandha.
Dengan uraian
singkat ini kiranya cukup dapat disimpulkan pokok-pokok pengertian ajaran
Nibandha dalam rangkaian seluruh kitab Weda itu. Selanjutnya tergantung dan
kita masing-masing bagaimana mamanfaatkan materi yang ada sebaik-baiknya
Dalam hal ini, Weda membuka jalan
yang lebih bijaksana dengan menetapkan fungsi dan tugas ,,Lembaga Parisada”
sebagai lembaga majelis agama yang mempunyai fungsi judikatip bagi masyarakat
Hindu. Tentang kedudukan Parisada ini diatur didalam Weda Smrti.
(Manawadharmasastra XII. 109 — 115) yang perumusannya berbunyi sebagai berikut:
1.
Ds. XII. 108.
Anamnatesu dharmesu katham syaditi ced
bhawed.
yam
sista brahmana bruyuh sadharmah syadacamkitah.
Artinya:
Kalau ditanya bagaimana hukumnya sedangkan
ketentuan itu belum dijumpai secara khusus maka para sista (ahli) dalam bidang
itu akan menetapkannya sebagai ketentuan yang mempunyai kekuatan hukum.
2. M.
Ds. XII. 109.
Dharmendhigatoyoistu wedah saparibrhanah,
tesista brahmãna jneyah sruti
praptyaksahetawah.
Artinya:
Para Brahmana yang tergolong sista menurut
Weda, adalah mereka yang mempelajari Weda lengkap dengan bagian-bagiannya dan
dapat membuktikan pandangannya dari segi Sruti.
3. M
Ds. XII. 110.
Dasãwarã wã parisadyam dharma parikalpayet,
tryawarã wa’pi wrttasthä tam dharma na
wicalayet.
Artinya :
Apapun juga bentuk Parisada itu jumlah
anggotanya sekurang-kurangnya terdiri atas sepuluh orang atau tiga orang yang
sesuai menurut fungsi jabatannya; keputusannya dinyatakan sah dan mempunyai
kekuatan sah yang tidak boleh dibantah.
4. M.
Ds. XII. 111.
Traiwidyohaitukastarkamairuktodharma
patnakah trayascasraminahpurwe parisatsyad
dasãwarã.
Artinya :
Tiga orang ahli dibidang Weda, seorang ahli
dibidang lokika. seorang ahli dibidang Mimamsa, seorang ahli dibidang Nirukta,
seorang abli didalam pengucapan mantra dan tiga orang dari jenis golongan
pertama merupakan anggota Parisada ahli yang terdiri atas 10 anggota.
5. M
Ds. XII. 112.
Rg. Weda widyajurwicca samaweda widewaca
tryawarã parisajjneyãdharma
samsaryanirnaye.
Artinya :
Seorang yang ahli dibidang Rg. Weda, seorang
yang mengerti Yajurweda dan seorang yang mengerti Samaweda dinyatakan merupakan
tiga anggota majelis Parisada yang mempunyai wewenang dalam memutuskan bila
perumusan hukum Hindu itu diragukan.
Dari lima contoh
diatas maka jelas bahwa lembaga Parisada mempunyai peranan penting pula sebagai
lembaga yudikatip dalam menentukan rumusan-rumusan yang diperlukan karena suatu
hal pasal-pasal yang diperlukan dibidang agama belum dijumpai atau masih
diragukan.
Dengan berpedoman pada
naskah-naskah ini maka tidaklah begitu sulit dalam mempergunakan Weda itu. Yang
terpenting didalam penggunaan Weda ini seseorang harus memahami masalahnya dan
mengetahui kira-kira tentang masalah yang dihadapi serta letak dimana ketentuan
hukum itu akan dijumpai. Inilah yang
merupakan ajaran umum yang perlu dihayati bagi setiap Hindu dan mereka yang
akan menyimpulkan berbagai tradisi Hindu menurut Weda.
III.
PENYEBARAN
AJARAN WEDA
Penyebaran
ajaran Weda didasarkan ketentuan Rg Weda X. 71. (3) Berdasarkan sloka-sloka
itu, sabda-sabda dalam Weda akan tersebar luas serta menjadi populer melalui
gita dan lagu yang disampaikan melalui yadnya. Dengan demikian maka Weda akan
didengar oleh masyarakat umum tanpa mengenal batas karena golongan.
Menurut Rg. Weda X. 71. (4)
menyebutkan adanya empat macam orang yang akan menyebarkan ajaran Weda menurut
profesi mereka masing-masing. Keempat tipe itu merupakan sistim penyebaran
ajaran yaitu:
·
Ahli kawisastra akan menyebarkan ajaran Weda
melalui profesi mereka, misalnya dengan menyusun tulisan-tulisan kawi atau
puisi dan melagukannya sehingga setiap orang dapat turut mendengar, menikmati
keindahan isi serta bentuk gubahan sastra.
·
Seniman akan menyebarkan ajaran Weda melalui
profesi mereka, misalnya dengan menyanyikan atau melakukan ajaran itu sehingga
setiap orang ikut menikmati keindahan gubahan isinya melalui gubahan
lagu-lagunya. Dengan demikian dilagukannyalah sabda sabda itu dalam bentuk
nyanyian, kekidungan dan lain-lain baik dalarn bentuk macapat maupun dalam
bentuk kekawin seperti Gayatri, Usnik, Anustub, Brihati, Pankti, Tristub,
Jagati, Mandamalon dan sehagainya.
·
Ahli-ahli yang akan membahas, menggubah,
mengembangkan dan sebagainya, sehingga isinya dapat dimengerti, dirasakan dan
dihayati sepenuhnya baik secara populer maupun secara ilmiah. Melalui kaca mata
ahli inilah ajaran Weda itu disebarkan dan diyakini oleh setiap pembacanya.
·
Pendeta-pendeta pemimpin upacara yadnya yang
akan merumuskan, membudayakan dan mengembangkan melalui cara doa-doa,
improvisasi, penghayatan secara mistik sehingga keseluruhan ajarannya dapat
dinikmati serta dihayati oleh seluruh lapisan masyarakat, baik mereka yang
berpikiran maju maupun yang masih sederhana jalan pikirannya. Pandita akan
mengucapkan mantra-mantra dengan menghayati dan melagukannya sedangkan yang
lain mendengar dan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh pandita itu.
Ajaran inipun diketengahkan didalam Yajur Weda XII. 1. 1.
Berdasarkan
sistim yang telah dikemukakan diatas yang diungkapkan berdasarkan Rg. Weda X,
73 (3 - 11) diatas dapatlah diharapkan ajaran Weda itu akan tersebar luas.
Disamping itu menurut Yajur Weda XVI. 1 - 3 dan demikian pula menurut Rg. Weda
II (23) bahwa ajaran Weda harus dipopulerkan dan diajarkan kepada semua
golongan tanpa membeda-bedakan golongan mereka. Ajaran Weda hukan saja harus dihayati
oleh golongan Dwijati saja, melainkan kepada Sudra dan orang yang bukan
Hindupun dapat diajarkan Weda itu. Dengan demikian ajaran Weda menjadi populer
dan dapat merobah dunia dengan menjadikan pembaca atau penghayatannya menjadi
orang yang baik. Orang baik menurut ajaran Weda itu disebut dengan istilah Arya
(Rg. Weda IX. 635). Spirit ajaran inilah juga yang membuat Asoka, seorang raja
Buddhis bersemangat menyebarkan ajaran ”dharma” dengan menamakan dirinya
sebagai kekasih dewata yang menaklukkan dunia melalui ajaran kedharmaannya.
Disamping itu, Hindu mempunyai sistim lain dalam penyebaran ajaran Weda secara
populer, yaitu dengan mengintrodusir ajaran Rsi yajna atau Brahma yajna. Ajaran
ini dimaksudkan agar dipatuhi dan karena itu ajarannya bersitat obligatos.
Melalui sistim TRI RNA (Tiga Macam Hutang), yaitu Dewa Rna, Rsi Rna dan Pitri
Rna, maka ajaran Rsi Rna inilah dikembangkan ajaran Rsi Yajna yang menurut
Manawadharmasastra, yajna itu dapat dilakukan dengan :
o menghormati
Pandita Brahmana dengan ajaran daksinanya.
o mewajibkan
membaca atau mempelajari Weda baik melalui guru (acarya) maupun dengan cara
belajar sendiri (guruswadhyaya).
o memperingati
hari turunnya Weda, misalnya menyelenggarakan hari ,,Saraswati” sebagai hari
turunnya Weda.
Untuk memantapkan penyebaran
ajaran Weda, diketengahkan pula ajaran mengenai pahala sebagai akibat atau
rakhmat bagi seseorang yang mempelajari atau membaca Weda.
Untuk dapat menghayati beberapa
pahalanya didalam mempelajari Weda itu, Maha Rsi Manu didalam Manawadharmasastranya,
menyatakan hal-hal sebagai berikut :
M.
Dhs. II. 14.
Srutidwaidam tu yatrasyãt tatra dharmwubhau
smrtau,
ubhãwapi hi tau dharmau samyang uktau
manisibhih.
Artinya :
Pengetahuan smrti diwajibkan bagi mereka
yang berusaha memperoleh pahala materiil
dan kebahagiaan duniawi sedangkan mereka yang ingin memperoleh pahala
rokhani itu, Sruti adalah mutlak.
M
Dhs. II. 26.
Waidikaih karmabhih punyair nisekãdir dwijan
manam,
karyah sarirasamskarah pwanah pretya ceha
ca.
Artinya :
Dengan melaksanakan upacara-upacara
keagamaan yang diwajibkan oleh Weda, upacara praenatal dan samskara serta
upacara-upacara lainnya akan mensucikan badan serta membersihkan diri seseorang
dan dosa-dosanya setelah mati.
M.
Dhs. III. 66.
Mantratastu smrddhãni kulãnyalpa dhanãnyapi,
kulasamkahyãm ca gachanti karsanti ca mahadyasah.
Artinya :
Keluarga yang kaya akan pengetahuan Weda,
walaupun hartanya sedikit, mereka tergolong diantara orang-orang besar dan
terkenal.
M.
Dhs. XI. 57.
Brahmajjnata wedaninda kanta saksyam
suhridwadah, garhitanadyayorjagdhih surapana samani sat.
Artinya :
Melupakan Weda, menentang Weda, memberi
kesaksian palsu pembunuhan teman sendiri, memakan makanan yang dilarang,
menelan makan-makanan yang tak layak sebagai makanan adalah enam macam
kesalahan yang dosanya sama dengan minum sura.
M.
Dhs. XI. 246.
Wedabhyaso’nwaham saktya mahayajnakriya
ksama, nasayantyasu papani mahapataka janyapi.
Artinya :
Mempelajari Weda setiap harinya, melakukan
panca maha yadnya sesuai menurut kemampuannya, sabar dalam menderita, semuanya
itu cepat atau lambat akan melenyapkan semoa dosa-dosanya walaupun dosa besar
sekalipun.
Dari
uraian-uraian diatas itu jetaslah hahwa pengajian Weda adalah sangat penting,
baik untuk diri sendiri maupun akibatnya untuk kesejahteraan umat manusia.
Dalam hal ini, Maitri Upanisad IV. 3. menegaskan bahwa adalah merupakan jaminan
bagi seseorang akan mencapai kesempurnaan melalui belajar Weda serta melakukan
kewajiban-kewajiban dengan teratur. Melakukan tugas kewajiban yang menjadi
tugasnya adalah tingkah laku yang menjadi azas kehidupan beragama dan itu
adalah ketentuan. Kewajiban-kewajiban seperti yang diwajibkan dan dianjurkan
didalani Weda dan tidak nielanggar kewajihan yang telah ditetapkan akan
meningkatkan tingkat kehidupan manusia karena sesungguhnya itulah yang
dinyatakan sebagai kesucian yang layak. Inilah pokok-pokok yang diajarkan
didalam Maitri Upanisad IV. 3.
Disamping Maitri
Upanisad, Chandogya Upanisad XXIII. I. menegaskan hal-hal sebagai berikut :
,,Ada tiga kewajiban yang harus dilakukan yaitu berkurban mempelajari Weda dan
berdana (bersedekah); Itu adalah tugas utama. Hidup bertapa merupakan kewajiban
kedua sedangkan hidup berumah tangga dengan mengajarkan Weda merupakan tugas
yang ketiga. Semua itu akan membawa kebajikan pada dunia. Ia yang tetap berdoa
akan mencapai kesempurnaan.
Dan contoh-contoh diatas kiranya
cukup jelas bagaimana Weda itu dipopulerkan dan disebarkan sehingga menjadi
milik setiap umat manusia. Inilah pokok-pokok ajaran yang menjadi sendi
kehidupan beragama menurut Hindu.
Untuk dimaklumi, bahwa
petikan-petikan itu baru sebagian kecil saja yang diketengahkan karena banyak
sloka-sloka yang dapat dijadikan titik tolak pembuktian yang bermanfaat sekali
artinya dalam menghayati ajaran penyebaran ajaran Weda itu.
IV.
PETUNJUK
PENGGUNAAN WEDA
Dan uraian
diatas, luas lingkup materi Weda mcliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Didalam mencari pasal-pasal yang diperlukan baik untuk pedoman maupun sebagai
landasan hukum didalam menilai berbagai aspek kehidupan masyarakat Hindu tanpa
menyadari sistimatika diatas itu tidaklah mudah meraba hakekat yang menjadi
dasar pola hukum yang terkandung dalam Weda untuk merumuskan seluruh tingkah
laku manusia yang disebut dharmika.
Menghayati Weda
tidak cukup hanya melihat aspek Sruti dan Smrtinya asia tetapi seluruh produk
Smrti dan Wibandha itupun perlu harus dihayati dan dikaji. Oleh karena itu
Bhagawan Wararuci (Kathyayana) didalam kitab Sarasamuccayanya seseorang
mempelajari pula Itihasa dan Purana karena mereka yang tidak menghayati
suplemen Weda itu tidaklah dapat menghayati Weda dengan baik.
Kebijaksanaan
dan kebahagiaan akan dapat dicapai bila seseorang telah benar-benar menghayati
Weda sebagai kenyataan. Dari Manusmrti II. 12. telah menegaskan bahwa kebajikan
yang merupakan hakikat daripada Dharma diwujudkan didalam dunia ini berdasarkan
norma yang tertera dan tersirat didalam Sruti, Smrti, Sadacara, Sila dan
Atmanastusti dan karena itu didalam menulis tingkah laku manusia,
lembaga-lembaga Hindu dalam lingkungan masyarakat Hindu tidak dapat lepas dari
norma-norma sebagai mana terdapat didalam berbagai sumber itu.
Tingkah laku
manusia bermasyarakat ditandai oleh berbagai jenis menurut pribadi maupun
secara bermasyarakat, memiliki menentukan dimana kita akan memperoleh sumber
hukum yang dapat dipergunakan didalam mencari materinya.
Sebagai gambaran
perbandingan yang mudah. Wedasruti adalah merupakan UUD agama Hindu sedangkan Wedasmrti
adalah UUP agama Hindu. Sebagai undang-undang agama, materi isinya sangat luas,
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu ciri-ciri dari
tiap-tiap jenis buku dengan pokok permasalahan yang menjadi dasar isi dari pada
kitab itu harus dihayati. Sebagai halnya seorang ahli hukum yang hendak mencari
pasal mengenai bidang hukum perdagangan ia harus mencari didalam kitab hukum
Dagang dan tidak didalam kitab hukum agama atau syariat agama Hindu harus
dicari didalam Dharmasastra sedangkan untuk tatalaksana ritual harus dicari
didalam kitab-kitab Brahmana, Grhyasutra, Srautasutra dan lain-lainnya.
Inilah yang harus dihayati dan
dipegang sebagai pedoman didalam mengkaji segala permasalahan hukum dan ajaran
agama. Memang harus disadari bahwa materinya kadang-kadang overlaping antara
satu buku dengan buku yang lain. Kadang-kadang terdapat pula kekaburan isi yang
sulit dipahami oleh orang-orang awam. Akan lebih sulit lagi kalau sampai
didalam pelaksanaan ajaran agama itu tidak dapat perumusan-perumusan yang tegas
sehingga tidaklah mudah bagi seseorang menentukan mana yang besar dan sah
menurut ajaran Hindu.
DAFTAR NAMA-NAMA RSI YANG DISEBUT DIDALAM WEDA
1. Aghamarsana
(putra Madhucchanda).
2. Agastya
3. Apratiratha.
4. Atharwan.
5. Atri
6. Bhrgu.
7. Bharadwaja
(putra Brhaspati).
8. Brhaspati
(Keluarga Angira).
9. Brahma
Swayambhu.
10. Brahma.
11. Damana
(putra Yama).
12. Dadhyac.
13. Dirghatama
(putra Utatthya).
14. Ghosa
(putri Kaksiwat).
15. Garga
(putra Bhraradwaja).
16. Gotama
(Putra Rahugana).
17. Hiranyagarbha
(putra Prajapati).
18. Irimbithi
(keluarga Kanwa).
19. Yetri
(Putra Madhucanda).
20. Kawasa
(putra Elusa).
21. Kasyapa
(Keluarga Marici).
22. Kutsa
(Putra Angira).
23. Madhucchanda
(putra Wiswamitra).
24. Manyu
(putra Tapa).
25. Manu
(putra Wiwaswat).
26. Nidhruwi
(Keluarga Kasyapa).
27. Payu)
Putra Bharadwaja).
28. Paramesthin.
29. Parucchepa.
30. Patiwedana.
31. Prajapati.
32. Santati.
33. Samkusuka
(putra Yama).
34. Saunaka.
35. Samwanana
(keluarga Angira).
36. Sisu
(keluarga Angira).
37. Sindhudwipa
(putra Raja Ambarisa Twastri).
38. Surya
(putri Sawitri).
39. Sobhari
(keluarga Kanwa).
40. Syawaswa
(putra Atri).
41. Ula
(keluarga Wata).
42. Wamadewa
(putra Gotama).
43. Wasistha.
44. Wiwaswat
(putra Aditi).
45. Wiswamitra
(putra Gathin).
46. Wyasa.
47. Yami
(putri Wiwaswat).
48. Yama
(putra Wiwaswat).
(N.B. Nama-nama itu terdapat didalam Rg. Weda, Sama Weda, Yajur Weda
dan Atharwa Weda, sedangkan namanama
Rsi sesudah jaman Weda banyak pula, masih dalam penelitian)
sumber : Weda G. Pudja. SH., MA.
Komentar
Posting Komentar