Nilai Pendidikan dalam Bhismaparwa

Bhismaparwa merupakan bagian terpenting dalam kisah Mahabharata karena dalam Parwa ini kitab Bhagawad Gita diturunkan. Dalam Bhismaparwa dikisahkan bagaimana kedua pasukan, pasukan Korawa dan pasukan Pandawa berhadapan satu sama lain sebelum Bharatayuddha dimulai. Lalu sang Arjuna dan kusirnya sang Kresna berada di antara kedua pasukan. Arjuna pun bisa melihat bala tentara Korawa dan para Korawa, sepupunya sendiri. Iapun menjadi sedih karena harus memerangi mereka. Walaupun mereka jahat, tetapi Arjuna teringat bagaimana mereka pernah dididik bersama-sama sewaktu kecil dan sekarang berhadapan satu sama lain sebagai musuh. Lalu Kresna memberi Arjuna sebuah wejangan. Wejangannya ini disebut dengan nama Bhagawad Gita atau “Gita Sang Bagawan”, artinya adalah nyanyian Tuhan.
Bhismaparwa diakhiri dengan dikalahkannya Bisma, kakek para Pandawa dan Korawa. Bisma mendapat anugrah bahwa ia bisa meninggal pada waktu yang ditentukan sendiri. Lalu ia memilih untuk tetap tidur terbentang saja pada “tempat tidur panahnya” (saratalpa) sampai perang Bharatayuddha selesai. Tubuh Bisma tertancap ribuan panah sehingga terjatuh tetapi tubuhnya tidak menyentuh tanah, hanya ujung-ujung panahnya saja.
            Dalam Episode (Parwa) ini banyak nilai yang terkandung disamping nilai pendidikan rohani juga nilai pendidikan spiritual dan ritual yang juga mengenai relevansinya dengan kehidupan sekaran ini. Nilai yang paling penting adalah nilai yang terdapat dalam Bahavad Gita, Dalam dialog ini Kresna adalah pembicara utama yang menguraikan ajaran-ajaran falsafinya kepada sang Arjuna yang menjadi pendengarnya.
Syair ini merupakan interpolasi atau sisipan yang dimasukkan kepada Bhismaparwa. Adegan ini terjadi pada permulaan Bharatayuddha. Saat itu Arjuna berdiri di atas bukit dan memandang ke bawah, ke tempat seberang di mana berada para Korawa dan sekutu-sekutu mereka. Arjuna harus memerangi mereka semua, tetapi ia dilanda kesedihan dan kebimbangan. Karena meskipun mereka pernah berbuat jahat terhadapnya, mereka tetap saudara-saudari dan sahabat-sahabat yang sudah ia kenal dan dikasihinya. Lalu ia diberi wejangan dan nasehat-nasehat oleh Kresna yang berlaku sebagaisais Arjuna.

Bhagawad Gita bersifat kekal Bagaimana pun juga, penulis Bhagawad Gita tidak diketahui secara pasti karena Bhagawad Gita merupakan ajaran Agama Hindu yang sangat tua sekali umurnya. Umat Hindu meyakini, Bhagawad Gita merupakan ilmu pengetahuan abadi, yakni sudah ada sebelum umat manusia menuliskan sejarahnya dan ajarannya tidak akan dapat dimusnahkan.
Dalam Bhagawad Gita, Tuhan melalui perantara Sri Kresna bersabda:
Śrī bhagavān uvāca: imam vivasvate yogam proktāvan aham avyayam vivasvān manave prāha manur iksvāke ‘bravit (Bhagavad Gītā, 4.1)
Arti: Sri Bhagawan (Kresna) bersabda: Aku telah mengajarkan ilmu pengetahuan yang abadi ini kepada Dewa matahari, Vivasvan. Vivasvan mengajarkan ilmu ini kepada Manu, ayah manusia. Manu mengajarkan ilmu ini kepada Iksvaku.
Pada sloka di atas, Tuhan beersabda kepada Arjuna, bahwa ajaran dalam Bhagawad Gita sudah pernah ia jabarkan kepada Vivasvan, Sang Dewa matahari, sebelum ia tuturkan kepada Arjuna pada saat perang Bharatayuddha akan berlangsung. Berarti Bhagawad Gita yang disampaikan kepada Arjuna merupakan ajaran yang dituturkan kembali untuk yang kedua kalinya oleh Tuhan. Menurut Kresna, Dewa mataharilah yang pertama kali menerima ajaran Bhagawad Gita, lalu ia bersabda pada putranya, Manu. Manu menurunkan ajaran Bhagawad Gita kepada Iksvaku, maharaja di bumi. Pada masa itu ajaran-ajaran Bhagawad Gita disampaikan secara lisan. Bhagawad Gita disusun sebagai sebuah kitab oleh Bhagawan Vyasa setelah umat manusia mengenal tulisan.
Menurut penjelasan yang dijabarkan kitab Bhagawad Gita, bagaimanapun penafsiran seseorang terhadap asal muasal Bhagawad Gita, ia tidak akan pernah menemukan kepastian jika masih terikat dengan hal-hal duniawi. Ajaran Bhagawad Gita bersifat apauruseya, artinya melampaui kekuatan manusia.

A.    Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam  setiap Bab Bhagavadgita
Kitab ini terdiri dari 18 bagian:
1.      Bagian pertama, Arjuna Wisada Yoga, menguraikan keragu-raguan dalam diri Arjuna, setelah menyadari akibat akan peperangan yang akan terjadi, dinilai bertentangan dengan ajaran Dharma. Dalam bab ini, termasuk didalamnya penggambaran situasi dan kondisi yang berlangsung di Padang Kuru, tempat terjadinya perang saudara terbesar dalam sejarah umat manusia.
Pertentangan ajaran Dharma yang terjadi dalam diri Arjuna, antara lain adalah:
·         Ahimsa
·         Larangan membunuh guru sebagai dosa besar (mahā pataka).
·         Ajaran Vairāgya, sebagai sistem pencapaian tujuan moksa.
·         Kemerosotan moral dan musnahnya tradisi leluhur, sebagai ekses terjadinya peperangan.
·         Kekacauan dalam sistem varnāśrama-dharma termasuk persepsi timbulnya kekacauan dalam jātidharma dan dharma
Atas pemikiran bahwa, peperangan itu bertentangan dengan Dharma, Arjuna mengharapkan bimbingan kari Krisna untuk keluar dari kebingunggan ini.
2.      Bagian kedua, Samkhya Yoga, menguraikan yoga dan samkhya
3.      Bagian ketiga, Karma Yoga, menguraikan pencapaian yoga karena karma, usaha, perbuatan.
4.      Bagian keempat, Jñana Yoga, menguraikan pencapaian yoga karena ilmu pengetahuan suci.
5.      Bagian kelima, Karma Samnyasa Yoga, menguraikan pencapaian yoga.
6.      Bagian keenam, Dhyana, menguraikan tentang makna Dhyana sebaga satu sistem dalam yoga
7.      Bagian ketujuh, Jñana Wijñana, menguraikan pencapaian yoga karena budi.
8.      Bagian kedelapan, Aksara Brahma Yoga, menguraikan hakikat akan Kekekalan Tuhan.
9.      Bagian kesembilan, Raja Widya Rajaguhya Yoga, Hakikat Ketuhanan sebagai raja dari segala ilmu pengetahuan (widya).
10.  Bagian kesepuluh, Wibhuti Yoga, menguraikan akan sifat hakikat Tuhan yang absolut, tanpa awal, pertengahan dan akhir.
11.  Bagian kesebelas, Wiswarupa Darsana Yoga, kelanjutan dari Vibhuti Yoga, dijelaskan dengan manifestasi secara nyata.
12.  Bagian keduabelas, Bhakti Yoga, menguraikan mencapai yoga dengan bhakti.
13.  Bagian ketigabelas, Ksetra Ksetrajña Yoga, menguraikan hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hubungan dengan purusa dan prakrti.
14.  Bagian keempatbelas, Guna Traya Wibhaga Yoga, membahas Triguna – Sattvam, Rajas dan Tamas.
15.  Bagian kelimabelas, Purusottama Yoga, menguraikan beryoga pada purusa yang Maha Tinggi, Hakikat Ketuhanan.
16.  Bagian keenambelas, Daiwasura Sampad Wibhaga Yoga, membahas akan hakikat tingkah-laku manusia, baik dan buruk.
17.  Bagian ketujuhbelas, Sraddha Traya Wibhaga Yoga, menguraikan kepercayaan dan berkeyakinan pada Triguna.
18.  Bagian kedelapanbelas, Moksa Samnyasa Yoga, merupakan kesimpulan dari semua ajaran yg menjadi inti tujuan agama yang tertinggi.

Seperti kita ketahui bahwa Bhagavadgita diturunkan pada zaman Dwapara yuga. Sehingga wajar jika memunculkan pertanyaan seperti misalnya, apakah Bhagavadgita masih relevan dengan kehidupan sekarang? Jika kita melihat isi Bhagavadgita, tentunya masih sangat relevan dengan kehidupan sekarang. Terutama dalam sloka Bhagavadgita 10.7 yang mengatakan:

etam Vibhutim yogam ca mama yo vetti tattvatah
so vikalpena yogena yujyate natra samsayah”

Artinya:
Orang yang sungguh-sungguh yakin tentang kehebatan dan kekuatan batin-Ku ini menekuni bhakti yang murni dan tidak dicampur dengan hal-hal lain; kenyataan ini tidak dapat diragukan.

Dari sloka diatas menjelaskan bahwa seseorang yang benar-benar yakin dengan pengetahuan tentang Kepribadian Tuhan Yang Maha Esa, maka sesunggunya dia telah menekuni bhakti yang murni. Dalam hal ini, orang tersebut telah mengetahui tentang pengetahuan rohani Tuhan secara terperinci tampa keragu-raguan, maka tidak dapat disesatkan dengan cara apapun. Dengan demikian dia akan meperoleh Sri Krsna (pembebasan). Hal ini sangat sejalan dengan tujuan umat Hindu yakni Moksartham Jagadhita ya ca Iti Dharma yaitu bahagia di dunia dan akhirat. Dengan mempelajari dan mengamalkan sloka diatas maka umat Hindu dipercaya dapat mencapai tujuan akhir.
Relevansi lain Bhagavadgita Bab 10 dengan kehidupan sekarang, yakni bisa dilihat pada Bhagavadgita 10.24 dijelaskan bahwa diatara semua sumber air, lautan yang paling besar. Lautan dalam sloka ini di anggap sebagai perwujudan dari Sri Krsna perwujudan Tuhan Yang Maha Esa seperti sloka berikut:

“purodhasam ca mukhyam mam viddhi partha brhaspatim
Senaninam aham skandah sarasam asmi sagarah”

Artinya:
Wahai Arjuna, diantara semua pendeta, ketahuilah bahwa aku adalah Brhaspati, pemimpinnya. Diantara para panglima Aku adalah Kartikea, dan di antara sumber-sumber air Aku adalah lautan.

Sloka diatas menjelaskan bahwa segala sesuatu adalah perwujudan dari Tuhan Yang Maha Esa sehingga tidak salah jika umat Hindu melakukan Ngayut (Nglarung) di Lautan ketika ngaben. Karena lautan memiliki sifat peleburan. Selain itu Lautan juga adalah perwujudan dari Tuhan seperti dijelaskan dalam sloka diatas. Sehingga dengan ngayut maka secara otomatis kita telah mengembalikan unsur panca mahabuta ke tempat yang suci.

Sloka Bhagavadgita 10.23 dijelaskan bahwa Sri Krsna adalah perwujudan dari api (agni). Untuk itu, umat Hindu selalu menggunakan api ketika melakukan upacara. Karena api merupakan salah satu saksi nyata seperti dijelaskan dalam sloka berikut:

“rudranam sankaras casmi  vitteso yaksa-raksasam
Vasunam pavakas casmi meruh sikharinam aham”

Artinya:
Di antara semua Rudra Aku adalah Dewa Siva, di antara para Yaksa dan raksasa Aku adalah dewa kekayaan [kuvera], di antara para vasu Aku adalah api [agni], dan di antara gunung-gunung Aku adalah Meru.

Dari beberapa sloka diatas menjelaskan bahwa sesunggunya Bhagavadgita ini masih relevan terhadap kehidupan manusia saat ini, karena hingga sekarang ajaran-ajaran Bhagavadgita masih diterapkan dan bahkan banya yang menjadikan Bhagavadgita sebagai tuntunan hidup dan refferensi kehidupan.

B.     Nilai Spiritual dan Ritual Upacara Agama
Keberadaan ritual di seluruh daerah merupakan wujud simbol dalam agama atau religi dan juga simbolisme kebudayaan manusia. Tindakan simbolis dalam upacara religius merupakan bagian sangat penting dan tidak mungkin dapat ditinggalkan begitu saja. Manusia harus melakukan sesuatu yang melambangkan komunikasi dengan Tuhan. Selain pada agama, adat istiadat pun sangat menonjol simbolismenya, upacara-upacara adat yang merupakan warisan turun temurun dari generasi tua ke generasi muda (Herusatoto Budiyono 2001: 26-27).
Menurut Adler, manusia adalah makhluk yang sadar, yang berarti bahwa ia sadar terhadap semua alasan tingkah lakunya, sadar inferioritasnya, mampu membimbing tingkah lakunya, dan menyadari sepenuhnya arti dari segala perbuatan untuk kemudian dapat mengaktualisasikan dirinya. (dalam Mahpur&Habib,2006:35).
Spiritualitas diarahkan kepada pengalaman subjektif dari apa yang relevan secara eksistensial untuk manusia. Spiritualitas tidak hanya memperhatikan apakah hidup itu berharga, namun juga fokus pada mengapa hidup berharga.
Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. (Hasan, 2006:288). Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari bahasa latin „Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material.
Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. (dalam Tamami, 2011:19)
Bermacam-macam yajna dijelaskan dalam cerita Mahaharata, ada yajna berbentuk benda, yajna dengan tapa, yoga, yajna mempelajari kitab suci ,yajna ilmu pengetahuan, yajna untuk kebahagiaan orang tua. Korban suci dan keiklasan yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud tidak mementingkan diri sendiri dan menggalang kebahagiaan bersama adalah pelaksanaan ajaran dharma yang tertinggi (yajnam sanatanam).
Kegiatan upacara agama dan dharma sadhana lainnya sesungguhnya adalah usaha peningkatan kesucian diri. Kitab Manawa Dharmasastra V.109 menyebutkan.:
Adbhirgatrani suddhayanti manah satyena suddhayanti, widyatapobhyam bhutatma buddhir jnanena suddhyanti.
“Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kejujuran (satya), atma disucikan dengan tapa brata, budhi disucikan dengan ilmu pengetahuan (spiritual)”.
Nilai-nilai ajaran dalam cerita Mahabharata kiranya masih relevan digunakan sebagai pedoman untuk menuntun hidup menuju ke jalan yang sesuai dengan Veda. Oleh karena itu mempelajari kita suci Veda, terlebih dahulu harus memahami dan menguasai Itihasa dan Purana (Mahabharata dan Ramayana), seperti yang disebutkan dalam kitab Sarasamuscaya sloka 39 sebagai berikut :
Ndan Sang Hyang Weda paripuurnaknasira makasaadhana Sang Hyang Itihasa, Sang Hynag Purana, apan atakut Sang Hyang Weda ring akidik Ajinya, ling nira, kamung Hyang, haywa tiki umara ri kami, ling nira mangkana rakwa atakut.
“Weda itu hendaknya dipelajari dengan sempurna, dengan jalan mempelajari itihasa dan purana, sebab Weda itu merasa takut akan orang-orang yang sedikit pengetahuannya”

            Beberapa rujuakn diatas akan digunakan sebagai bahan pengkajian dalam mengelaborasi tentang jenis ritual yadnya yang ada di Bali, seperti Upacara Ngaben, Upacara Ngaben merupakan proses pengembalian unsur Panca Maha Butha kepada Sang Pencipta. Kekuatan Panca Maha Butha menciptakan adanya ‘Stula Sarira’ yaitu Pertiwi (kulit), Teja (darah daging), Akasa (urat-urat), Bayu (tulang belulang), Apah (sumsum).
Pangabenan umat Hindu menggunakan filosofi yang diambil dari gugurnya Resi Bisma dalam perang Berathayudha ditengah Kuru Setra. Badannya penuh dengan panahnya Sang Arjuna. Setelah rebah, badanya sama sekali tidak menyentuh tanah karena disangga ribuan panah. Resi Bisma gugur karena pembayaran sumpahnya Dewi Amba yang reinkarnasi menjadi Sri Kandhi.Senjata Sri Kandhi yang pertama kali menembus kekebalan badannya Resi Bisma.Setelah kekebelannya hilang sebagai pembayaran sumpahnya Dewi Amba, kemudian senjatanya Dresta Jumena dan ribuan panahnya Arjuna menembus seluruh tubuh Resi Bisma.
Dikatakannyan, nilai-nilai yang dapat diambil dari gugurnya Resi Bisma yakni, Resi adalah orang yang telah mencapai tingkat kesucian tinggi. Dari sini diambil filosofi bahwa jasad harus melalui proses penyucian. Bisma juga berasal dari kata ‘Wisma’ atau tempat atau wadah, yaitu wadahnya Sang Jiwatman atau Stula Sarira atau unsur-unsur Panca Maha Butha. Kata Resi Bisma mengandung filosofi proses penyucian terhadap Panca Maha Butha. Selanjutnya ada Sri Kandhi, di mana Sri yang berarti sinar suci (Div), kemudian menjadi Dewa. Kandi adalah kanda yang juga sama dengan dudonan atau tahapan. Kemudian ada Dresta Jumena. Dresta yang bermaknapedoman Lantas, bagaimana dengan seribu panahnya Sang Arjuna. Sang Arjuna yang juga disbeut Sang Dananjaya yang berasal dari Dana dan Jaya yang artinya tulus iklas. Angka 1000 diambil dari angka Samkhiya adalah mengembalikan unsur Panca Maha Butha dari alam Bhur Loka ke Swah Loka (kehadapan Sang Pencipta).
Di bagian lain juga ada mohon toya pemanah (Toya Manah). Yakni, air minum yang diminta oleh Rsi Bisma diberikan oleh Duryudhana mempergunakan sebuah Kendi, ditolak oleh Rsi Bisma sebagai simbol penolakan indria (tidak lagi ngulurin indria). Lalu, minta kepada Arjuna, digunakan sebuah anak panah (manah yang artinya intuisi, juga keneh, suara hati), dan air muncrat dari tanah (air klebutan). “Ini merupakan dasar filosofi Manah Toya. Tirta Pemanah artinya toya berasal dari sindhu atau Hindu atau windhu yang artinya kosong atau sunya. Pemanah yang berasal dari pe dan manah, yang berarti alam pikiran. Jadi, Tirta Pemanah dimaksudkan untuk mengembalikan Panca Maha Butha berdasar ketulusan hati. “Air untuk membersihkan badan diminta kepada Duryudana, diberikan menggunakan tempayan emas, tapi ditolak. Ini juga sebagi simbol penolakan segala gemerlap duniawi, Arjuna menggunakan dua panah, dipanahkan keatas kemudian panah pertama jatuh diatas kepala Resi Bisma, dan panah yang satunya lagi jatuh di kaki. Oleh karena itu, lanjutnya, pembersihan harus dimulai dari kepala. “Dari sini diambil filosofi Toya Penembak. sebagai sarana pamrelina mantuk maring Sangkan Paran dan untuk menetralisasi awidyanya sang lampus,” Selanjutnya, Tirta Penembak untuk memutuskan agar terbentuk jalan ke alam Sunya. Menjelang menghembuskan nafas terakhir Rsi Bisma berpesan kepada Arjuna agar jasadnya dibakar menggunakan senjata Geni Astra yang disimbulkan sebaga tirta pangentas, untuk memutuskan dan menghilangkan tresna agar kembali kepada kekuatan amertha, yaitu ke Siwa loka. Dan senjatanya Dresta Jumena adalah pelukatan. Dresta berarti sima juga adat. Sedangkan Jumena berarti jumeneng atau dikukuhkan sebagai pedoman. “Paga yang dipakai untuk pebersihan menggunakan paga karena badan Resi Bisma tidak menyentuh tanah melainkan ditunjang oleh panah. Penggunaan paga merupakan ciri unsur bhur, bwah, swah loka, jadi sehingga dalam upacara ngaben dibali juga menggunakan wadah untuk sarana peletakan layon, yang juga memang dalam prosesi ngaben wadah atau bade tidak boleh menyentuh tanah agar tidak tidak kotor atau cemer, sehingga harus di gotong sampai di setra atau tempat pembakaran.
Kemudian prosesi ngaben ini juga akan selalu menggunakan dan mencari hari baik (Dewasa ayu) dalam posesi ngaben di Bali dijelaskan dalam Lontar Yama Purana Tattwa Sloka 14b yang berbunyi : Ia gaddha, sang amuja, mwang sang akaarya ayu, ikaning anak putunya mwang patiwam, ndan ingonanta, mannjuthi rupaa Bhataara, masalait masiyung, agimbal arep amangan ring umah, nga, ya tibaning tambra gomuka, endutbela gaddha. Ya ring coma kliwon, iniwakaken wange, byaktakalebwing papa naraka, kirina-kira dening Sang Hyang Yamma, iteng Sang mangentas, kalebwing triyak, speha tawun papanya, yaning kala gotongan semut sadulur, lwirnya anut uriping panca wara, mwang sapta wara, anuten uripnya, yaning urip, 13, semut sadulur.
Alih bahasa : Sang Pendeta yang hendak melaksanakan upacara tersebut sampai keturunannya juga kena, bila upacara ngaben dilaksanakan pada hari yang tidak tepat, maka binatang-binatang peliharaannya akan berubah wujud menjadi Dewa yang bertaring, berapmbut panjang yang siap memangsa seisi rumah yang masih hidup yang selanjutnya ditenggelamkan kedalam kawah lumpur, bila pada hari senin kliwon  menguburkan mayat akan tenggelam dalam papa neraka disiksa oleh Dewa Yamma dan pendeta yang melaksanakan upacara tersebut menjadi cacing 1600 tahun lamanya, bila Kala Gotongan dan Semut Sadulur menguburkan mayat. Sesuai dengan urip panca wara dan saptawaranya berjumah 13 disebut semut sadulur.
Dari kutipan sloka tersebut dapat dikaitkan juga dengan hari kematian Rsi Bisma memilih waktu kematiannya dengan sangat hati-hati yang tentunya mempertimbangan nasib keturunnya agar tidak mendapat sesuatu yang buruk, yang dalam ceritra Maha Bharata bahwa Bisma melakukan bhishan-pratigya, yaitu sumpah untuk membujang selamanya dan tidak akan mewarisi tahta ayahnya. Maka dari itu, bhiṣma dapat pula berarti "yang sumpahnya dahsyat (hebat)", karena ia bersumpah untuk hidup membujang selamanya dan tidak mewarisi takhta kerajaannya, untuk mencegah terjadinya perselisihan antara keturunannya dengan keturunan Satyawati, ibu tirinya, karena sumpahnya inilah akhirnya Bisma mendapat anugrah dari para dewa untuk dapat mengendalikan waktu kematiannya.
Kemudian pada saat perang di Kuru Setra Bisma akhirnya tumbang setelah tubuhnya tertancap panah pertama oleh Sri Kandi dan kemudian di hujani ribuan panah milik Arjuna, akan tetapi karena anugrah tersebut Bisma masih tetap hidup, Bisma kemudian memilih menutup usianya saat cucunya (Panca Pandawa) memenangkan peperangan yang disebut pihak Dharma, Bisma menghembuskan nafas terahirnya setelah bertemu dengan Krisna (Kepribadian Tuhan) dan mendapat anugrah dari Krisna. Setelah itu baru kemudian upacara pembakaran (Ngaben) dilakukan. 


Kesimpulan
Epiode atau Bhismaparwa merupuakan episode terpenting dalam 18 parwa yang ada dalam kisah Maha Bharata karean pada saat ini Nyanyian Suci Tuhan diturunkan dalam bentuk Bhagavad Gita, Bhagavad Gita adalah Nyanyian Sri Bhagavan, Dia (Tuhan) yang memiliki kehebatan sempurna, kekayaan yang tidak terbatas, kemasyuran yang abadi, kekuata yang tak terbatas, kecerdasan yang tak terbatas, dan ketidakterikatan yang sempurna, yang dimiliki sekaligus secara bersamaan. Bhagavadgita terdiri dari 700 sloka dengan 18 Bab.
Dalam Bhagavadgita mengajarkan tentang kehebatan Tuhan yang mutlak. Dimana inti dari Bab itu memperlihatkan kekuatan, keindahan sifat agung atau mulia, baik di dunia material maupun di dunia rohani, tidak lain daripada perwujudan sebagian tenaga-tenaga dan kehebatan rohani Krsna. Sri Krsna adalah sebab utama segala sebab serta sandaran dan hakekat segala sesuatu.
            Tidak hanya dalam Bhagavad Gita, dalam kisahnya pun banyak hal yang dapat digali dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sekarang, perti halnya Nilai Spiritual dan Ritual Upacara Ngaben di Bali yang dasar pelaksanaanya diambil dari kisah Bhismaparwa ini. Jadi apakah nilai-nilai yang terkandung didalamnya masih relevan diterapkan sekarang? Tentu jawabannya masih relevan.









Daftar Pustaka
Prabhupada, Sri-Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami. Bhagavadgita Menurut  
Aslinya, Jakarta: Hanuman Sakti, 2000.
Raka Mas, Drs. A.A. Ged. Memberi Makna Sebuah Kehidupan, Surabaya:
Paramita, 2007.
_________,Yama Purwwa Tattwa, Yama Purana Tattwa, Yama Purwana Tattwa, Yama Tattwa. Denpasar 1997

Ida Pandita Mpu Daksa Charya Manuaba, Upacara Ngaben di Bali Artikel, 2017

Komentar

Posting Komentar