Kata Estetika berasal
dari kata Yunani yaitu aesthesis yang berarti perasaan, selera perasaan atau
taste. Dalam prosesnya, Munro mengatakan bahwa Estetika adalah cara merespon
terhadap stimuli, terutama lewat persepsi indera, tetapi juga dikaitkan dengan
proses kejiwaan, seperti asosiasi, pemahaman, imajinasi, dan emosi. Ilmu
Estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan
dengan keindahan, mempelajari semua aspek dari apa yang kita sebut keindahan.
Estetika adalah hal yang mempelajari kualitas keindahan dari obyek, maupun daya
impuls dan pengalaman estetik pencipta dan pengamatannya. Estetika dalam kontek
penciptaan menurut John Hosper merupakan bagian dari filsafat yang berkaitan
dengan proses penciptaan karya yang indah.
Pandangan Hindu terhadap Estetika
Pandangan Hindu
mengenai Estetika ditulis
oleh Bharata di
sekitar abad V dengan bukunya Natyasastra. Dalam buku
tersebut dinyatakan bahwa
rasa lahir dari manunggalnya situasi
ditampilkan bersama dengan
reaksi dan keadaan
batin para pelakunya yang
senantiasa berubah. Pandangan ini oleh para pengikutnya dikembangkan secara
terus-menerus. Dalam Estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni
untuk bisa dikatakan indah dan berhasil
harus memenuhi enam (sad) syarat atau
perincian (angga), karena itu rumusan
itu disebut sad- angga.
Keenam
syarat pegangan itu adalah sebagai berikut:
- Rupabheda, artinya pembedaan bentuk, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenali oleh yang melihatnya. Dalam arti bentuk harus segera dikenali karakteristiknya, yang berbeda antara satu dengan lainnya, seperti; bentuk bunga sebagai bunga, pohon sebagai pohon, orang laki sebagai orang laki, orang perempuan sebagai orang perempuan, dan lain sebagainya
- Sadrsya, artinya kesamaan dalam penglihatan, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang dikandung di dalamnya. Misalnya sebuah pohon dengan bungabunga dan buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan, haruslah digambarkan dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini.
- Pramana, artinya sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi prinsip sadrsya maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu. Ide-ide yang tetap ini harus teguh dengan ukuran-ukuran yang tetap pula, dan di sini proporsi menjadi amat penting. Di samping berhubungan dengan ukuran, prinsip pramana juga menuntut dipakainya pola-pola bentuk yang tepat dalam penggambaran, dalam hal ini menggunakan pola-pola bentuk yang sudah ditetapkan.
- Wanikabangga yaitu penguraian dan pembikinan warna. Syarat ini meliputi pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat kuas, tempat pencampur warna, dan pemakaian warna secara tepat.
- Bhawa yaitu dapat diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa. Suasana dan pancaran rasa ini, misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke arah perasaan yang dimaksudkan.
- lawanya berarti keindahan daya pesona, wibawa atau greget. Seni bukan hanya soal teknik atau keterampilan, tetapi ekspresi yang memberikan wibawa transendental. Dengan kehadiran lawanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang dalam pada penikmat, bahkan bisa mempengaruhi batinnya.
Kesesuaian-kesesuaian serta
penerapan kaidah seni
secara ”lintas-media” yang telah dikaji
itu mungkin disebabkan
oleh: (a) adanya
suatu filsafat dasar seni
yang dianut bersama dalam
semua bidang kesenian,
misalnya yang terpusat pada
konsep “rasa”, dan
(b) adanya pergaulan akrab
selain menyimak di
antara para seniman berbagai
bidang seni, yaitu
mereka dapat saling meminjam kaidah.
Hubungan saling
meminjam kaidah antar bidang seni itu tidak hanya terjadi dalam lingkup budaya
Bali kuna, tetapi terjadi pula pada kebudayaan Bali yang hidup hingga sekarang.
Kiranya hubungan itu menjadi
bukan lagi saling
pinjam, melainkan saling tindih.
Seni rupa naratif, misalnya, yang hanya tumbuh dalam
gaya wayang (lukisan Kamasan, wayang beber), menjadi tak ada lagi
bedanya dengan boneka-boneka wayang
yang memang digunakan
dalam penyajian teatrikal. Kaidah-kaidah
seni yang berkembang pada masa Bali Kuna pada awalnya berasal dari
teks-teks Hindu berbahasa
Sansekerta, yang tentunya diterapkan di
dalam praktik mencipkan
karya-karya seni, baik itu seni pahat batu, seni rupa logam, arsitektur, maupun
seni tari dan teater, karawitan dan sastra. Karya-karya seni rupa, arsitektur,
sastra meninggalkan jejaknya yang jelas, yang masih dapat dinikmati
hingga sekarang (arca, benda-benda
fungsional, bangunan, kakawin,
dan lain-lain).
Demikian pula tari,
untuk masa Hindu awal di Indonesia, menunjukkan kehadirannya yang jelas
melalui relief candi
yang menggambarkan sikap-sikap
tari yang ternyata
begitu sesuai dengan aturan-aturan tari klasik India seperti
yangdinyatakan dalam teks seperti Natyasastra dan contoh-contoh pada kuil kuno
India. Kesenian apapun bentuknya, pada dasarnya
merupakan hasil kreativitas
seniman. Sebagai hasil olah
rasa, cipta, dan karsa
seniman, kesenian tidak
bisa lepas dari
ikatan-ikatan nilai luhur budaya, termasuk pula Estetika yang hidup dan
berkembang di lingkungan masyarakat tempat asal
seni yang bersangkutan.
Kesenian Bali yang
merupakan hasil kreativitas seniman yang berbudaya Bali
sangat sarat muatan estetis yang dijiwai oleh nilai-nilai budaya yang diikat
oleh agama Hindu.
Pengertian Kharisma
Kharisma
berasal dari bahasa yunani charizthai yang berarti pemberian Tuhan yang
menampilkan sesuatu yang lain dari seseorang manusia, baik berupa keagungan,
kecantikan dan kebaikan serta keuletan. Sedangkan menurut istilah, kharisma
berarti pengolahan diri seseorang, dimana orang tersebut terus-menerus
mengembangkan kelebihan dirinya sehingga memancar keluar dan bisa membuat orang
lain bisa merasakannya atau menjadi fanatik atau pengikutnya atau kharisma
adalah suatu perbuatan nurani ketika seseorang bisa menyeimbangkan dirinya
untuk berbuat dengan mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan diri,
bisa memikirkan perasaan orang lain, bisa bekerja dengan kasih sayang tanpa
pamrih untuk kesejahteraan orang lain dan sebagainya. Maka bisa disimpulkan
bahwa kharisma adalah konsekuensi perbuatan positif yang memancar dari diri
seseorang.
Hubungan Kharisma dengan Estetika Hindu
Dimana
sudah dijelaskan tadi bahwa kharisma adalah pengolahan diri seseorang, dimana
orang tersebut terus-menerus mengembangkan kelebihan dirinya sehingga memancar
keluar dan bisa membuat orang lain bisa merasakannya dan jika pengembangan diri
itu telah berasil maka dalam saat ini lah seseorang di sebut memiliki taksu
atau ketaksuan, dimana Kharisma dengan taksu memiliki keidentikan, jika
kharisma merupakan proses, maka taksu adalah hasil dari proses tersebut, dalam
kehidupan hindu di Bali, Taksu merupakan suatu yang dianggap gaib. Tidak hanya
manusia, suatu objek tertentu yang besifat sakral juga bisa dikatakan memiliki
Kharisma atau taksu itu sendiri, tetapi suatu objek tersebut tidak melalukan
proses pengembangan atau proses pemancaran Kharisma tersebut, melainkan
Kharisma itu sudah terpancar dengan sendirinya dan sudah memiliki nilai taksu
yang kuat, seperti contohnya adalah sebuah arca-arca di Bali, Pura, dan
benda-benda sacral lainnya. Di Bali taksu itu bisa diartikan sama dengan sakti
atau wisesa. Dan yang dimaksud dengan sakti itu adalah simbul dari bala atau
kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan dengan energi atau kala.
Dalam
tatwa, daya atau sakti itu tergolong Maya Tatwa. Energi dalam bahasa sanskrit
disebut prana, yang adalah bentuk ciptaan pertama dari Brahman. Dengan
mempergunakan prana barulah muncul ciptaan berikutnya yaitu panca mahabhuta.
Dengan digerakkan oleh prana kemudian terciptalah alam semesta beserta isinya.
Tuhan dalam Nirguna Brahma / Paramasiva dalam Siva Tatwa, memanfaatkan energi
atau sakti itu, sehingga ia menjadi Maha Kuasa, memiliki Cadu Sakti dengan Asta
Aiswarya-Nya.
Dalam
keadaan seperti itu Ia adalah Maha Pencipta, Pemelihara dan Pelebur. Dalam
Wraspati Tatwa disebut Sadasiva dan dalam pustaka Weda disebut Saguna Brahma.
Sakti atau energi maya dari Tuhan itu dipuja dalam bentuk pelinggih yang
disebut Taksu. Sedangkan Tuhan dalam wujudnya sebagai Sang Hyang Tri Purusa dan
Sang Hyang Tri Atma dipuja dalam pelinggih kamulan. Dalam upacara nyekah,
selain sekah sebagai perwujudan atma yang telah disucikan , kita juga mengenal
adanya sangge. Sangge ini adalah perwujudan atau simbul dari Dewi Mayasih.
Beliau mewakili unsur Maya Tatwa (pradana / sakti). Yang juga dalam upacara
nyekah bersama-sama Atma ikut disucikan.
Maka
timbul pertanyaan apakah Kharisma mempengaruhi Estetika atau sebaliknya ?
Maka jawabanya adalah bahwa sesungguhnya
Kharisma atau taksu ini yang merupakan bagian dari Estetika itu sendiri dimana
karena adanya sebuah Kharisma atau taksu adalah sebuah kekuatan dari dalam yang
bersifat magis yang akan memancarkan kekuatan dan kecerdasan sehingga suatu
objek tersebut akan memiliki daya tarik dan dari daya tarik tersebut akan
memberikan suatu nilai Estetika atau keindahan tersendiri.
2
Adapun
beberapa konsep utama yang terdapat dalam Estetika hindu yakni :
a. Sekala
dan Niskala,
b. Tri
Hita Karana,
c. Desa
Kala Patra,
d. Karmaphala,
e. Taksu
f. Kosmologi.
Kemudian konsep-konsep yang dapat diangkat untuk
pembahasan materi ini yakni konsep Sekala dan Niskala, Tri Hita Karana, dan
konsep Taksu.
Adapun masing-masing penjelasannya sebagai berikut :
·
Konsep sekala niskala
Dimana bahwa sekala niskala adalah
2 buang kata yang memiliki arti yang berbeda tetapi memiliki keterkaitan dan
hubungan timbal balik yang saling berkaitan, sekala yang berarti fisik atau
segala hal yang nyata bisa dilihat dengan mata secara langsung dan juga bisa
diraasakan, sedangkan niskala adalah suatu yang bersifat abstrak atau tidak
dapat dilihat namun bisa dirasakan. Dari uraian singkat tersebut dapat kita
gali dimana letak hubungannya dengan sebuah Kharisma itu, jelas bisa dilihat bahwa
Kharisma pada dasarnya memiliki sifat skala atau nyata, Kharisma yang berawal
dari sebuah potensi atau bakat ang terus dikembangkan dan kemudian memancar
dari dalam diri seseorang. Tetapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa sebenarnya
bahwa Kharisma juga bisa bersifat niskala atau abstrak, karena Kharisma yang
sudah berkembang dan kemudian menjadi sebuah taksu, maka disanalah Kharisma itu
bersifat niskala, karena taksu pada dasarnya lebih bersifat niskala. Terutama
di Bali, jika kita mendengar kata taksu maka kita lebih berpikir ke magis,
namun secara umum taksu juga bisa disebut karisma.
·
Konsep Tri Hita Karana
Dimana bahwa Tri Hita Karana
berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana =
penyebab).
Pada hakikatnya Tri Hita Karana
mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada
keharmonisan hubungan antara: manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam
lingkungan, serta manusia dengan sesamanya. Kemudian dimana letak benang merah
konsep ini dengan sebuah Kharisma tersebut ?
Sudah barang tentu bahwa hasil dari
penerapan Tri Hita Karana tersebut juga akan mengasilkan sebuah Kharisma bagi
suatu orang atau objek tertentu, seperti halnya sebagai contoh singkat
seseorang yang bisa menerapkan ke tiga penyebab keharmonisan ini yakni selalu
bakti kepada Tuhan, perduli dengan alam lingkungan serta mampu untuk selalu
mensejahterakan dirinya dengan sesame manusia, akan memiliki daya tarik
tersendiri oleh pihak lain dan juga memiliki Kharisma yang berbeda dan bersifat
positif.
Kemudian dija dari sekrup yang
lebih besar, kita ambil sebuah Desa, dimana sebuah Desa yang juga masyarakatnya
mampu menerapkan ke 3 penyebab keharmonisan ini maka Desa tersebut juga sudah
barang tentu memiliki Kharisma yang lebih, serta akan memiliki taksu yang
lebih.
Karena pada dasarnya keharmonisan
akan berbanding lurus dengan keindahan dan juga akan perpengaruh terhadap
Kharisma suatu objek.
·
Konsep Taksu
Taksu
merupakan suatu yang sangat berkaitan dengan sebuah Kharisma dimana kedua hal
ini sangat identik, dimana taksu memiliki pengertian yang lebih bersifat magis,
sedangakan Kharisma lebih bersifat umum, namun pada umunya taksu hanya berlaku
di kalangan masyarakat Hindu pada umumnya dan Bali pada khususnya, taksu itu
bisa diartikan sama dengan sakti atau wisesa. Dan yang dimaksud dengan sakti
itu adalah simbul dari bala atau kekuatan. Dalam sisi lain sakti juga disamakan
dengan energi atau kala. Inilah kenapa taksu lebih bersifat Skala.
Demikian
adalah beberapa konsep yang dapat diambil sebagai pendukung dan yang ada
kaitangnya dengan sebuah Kharisma dimana ketiga konsep itulah yang menjadi
dasar kenapa Kharisma bisa dikatakan sebagai suatu pengaruh yang juga memiliki
peran dalam Estetika hindu itu sendiri.
Terima kasih telah memberikan referensi untuk melengkapi tulisan saya
BalasHapussama sama
Hapuskalau boleh tau ini sumbernya dari mana yah?
BalasHapusdikutip dari berbagai sumber , karena penulis menggunakan bahasa sendiri untuk menulis
Hapus